#Day 3 : Mimpi-mimpi.
Hai halo. Rencana postingan setiap hari harus berjeda beberapa hari karena domain dan hosting radioholicz ternyata belum diperpanjang. Terima kasih banyak untuk kak Nanie sudah mau direpotkan untuk merawat radioholicz dari jauh :’)
Jadi hari ini mestinya mengikut postingan hari ketiga atau kedelapan? Karena postingan suka-suka enaknya ngikut ke tema hari kedelapan aja. Jadi, momen apa yang paling berkesan selama 20 sekian tahun berada di dunia?
Tanggal 28 April adalah salah satu saat bersejarah dalam hidup. Ketika email dari Joakim sebagai International Coordinator mengirimkan email yang menandakan saya terdaftar sebagai salah satu mahasiswa baru di Stockholm University jurusan Media and Communication. Yay! Rasanya seperti menunggu jodoh yang akhirnya datang juga. Khusus untuk hal ini, ya jodoh sekolah. Dari sekian banyak aplikasi yang saya kirimkan ternyata Stockholm yang memberikan jawaban terlebih dahulu. Kalau persoalan jodoh yang lain, yaah, itu masih rahasia Tuhan :’) …
[Travelogue] : Mengunjungi Tallin.
Ada beberapa destinasi yang bisa ditempuh dengan menggunakan kapal pesiar dari Stockholm. Dengan waktu tempuh sekitar 14 jam, Helsinki, Riga, ataupun Tallin menjadi tujuan favorit bagi mereka yang ingin melewatkan akhir pekan. Biasanya saya dan teman-teman PPI Kampung Stockholm pergi hari Jumat sore dan kembali lagi hari minggu pagi. Masih ada waktu istirahat bagi yang harus bekerja keesokan harinya, juga masih ada waktu nongkrong bagi yang tidak mempunyai kegiatan selain tidur di rumah.
Biasanya waktu standar untuk menjelajah kota adalah 6 sampai 8 jam. Polanya sama untuk setiap negara. Kapal bersandar di pelabuhan pukul 8 atau 9 kemudian berangkat lagi pukul 5 atau 6 sore. Makanya trip seperti ini hanya seperti sweet escape dan hanya berkesempatan untuk menjelajah wilayah kota tua. Jangan bayangkan seperti Stockholm, untuk menjelajah Gamla Stan saja bisa memakan waktu sampai 3 jam.
Apa yang bisa dilakukan selama 6 jam di ibukota Estonia?
Sebelum menjelajah ke negeri tetangga, aplikasi pocket saya sudah penuh dengan to-do list atau referensi berbagai tempat yang menarik. Tidak lupa urutan prioritas tempat yang akan dikunjungi. Public square, bangunan ikonik dan makanan khas. Khusus untuk winter escape bulan lalu, saya menamakannya trip anti ambisius karena menyadari 6 jam waktu yang tersedia. Belum lagi musim dingin membuat matahari tenggelam lebih cepat. Semboyan saya adalah kalau dapat tempatnya, ya syukur, kalau nggak juga gak ngoyo. Saya berprinsip daripada melihat sekian banyak ikon kota tapi terburu-buru, mending berjalan di salah satu bagian tapi menikmatinya dengan santai dan puas.
Mencari kehilangan.
Tidak ada yang menyangka November akan melaju seperti ini. Seperti merayakan sebuah ketergesaan dalam balutan waktu yang seolah tidak ingin menunggu. Barisan hujan yang turun di akhir November menjadi penanda lain, sampai sejauh mana saya berjalan sejauh ini? Apa yang saya dapatkan selain pelukan dingin di minus 7 derajat? Apa saya telah melakukan yang terbaik?
Ketika di penghujung hari saya selalu bertanya mengapa fokus sepertinya menjadi kelemahan? Semangat yang dulu berkoar untuk dikeluarkan entah padam di persimpangan yang mana. Kelebihan energi disalurkan dengan dalih kegiatan demi kegiatan yang pada akhirnya mengantarkan pada pertanyaan,
”Untuk apa”
Okelah, tidak semua manfaat bisa dirasakan seketika. Beberapa hal membutuhkan proses untuk dicerna dan diolah menjadi kenangan. Saya hanya berharap kerja keras untuk meluangkan waktu bekerja di Stockholm Film Festival tahun ini bisa terbayar dengan senyum yang cerah di keesokan hari. Bukannya apa, semua kegiatan seolah menumpuk di bulan November. Selama 10 hari festival, bahkan saya tidak mempunyai waktu untuk menonton satu film pun! Apalagi ketika bekerja selama 10 jam berturut-turut.
Well. Capek.
Walaupun tahun ini jam kerja tidak sepadat tahun lalu, tetap saja kok rasanya shift tahun ini justru yang paling menguras energi? …