Saya sangat menyukai berjalan kaki berkeliling kota. Ketika di Jakarta, keadaan memaksa saya untuk banyak berjalan. Untuk ke halte busway, mencari warteg untuk makan, ataupun mencari jalan pintas dari mal ke mal. Sesampainya di Stockholm, kebiasaan ini malah menggila. Ya karena keadaan juga sih, biasanya saya harus berjalan minimal 5 Kilometer setiap hari. Lah kok bisa?
Sistem transportasi telah dibuat sedemikian rupa sehingga harus diakses melalui berjalan kaki. Dari rumah landlord, saya harus berjalan sejauh 800 meter-1 kilometer untuk mencapai stasiun kereta api. Begitu juga sesampai di kampus, saya menempuh jarak yang sama untuk mencapi gedung kuliah. Belum lagi kegiatan saya berkenala di area Södermalm, biasanya saya mencapai 10 Kilometer sehari. Balik ke Makassar? Huhuhu, sedih.
Satu hal yang saya rasakan ketika balik ke Makassar adalah budaya jalan kaki yang semakin menghilang. Semuanya digantikan naik motor matic kemana-mana. Bahkan hanya untuk ke warung sebelah pun. Cerita saya mengenai petualangan berjalan kaki di bilangan wilayah Singa akan saya ceritakan lain kali. Pokoknya pejalan kaki menjadi pengguna jalan kesekian kalo boleh dibilang.
Karena lama tidak berjalan berkeliaran entah kemana (halah, bilang aja kalo lagi kosong banget), saya memutuskan untuk menikmati sabtu sore dengan menjadi seorang wanderlust. Seorang pejalan di kota sendiri. Mendengarkan playlist ipod di telinga, sambil berjalan lebih pelan. Menikmati interaksi di jalan-jalan dan menikmati waktu lebih lambat.
Sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Sesuatu yang konstan bergerak maju tanpa pernah menunggu. Tempat baru, suasana baru, dan cerita baru di setiap tempat. Ternyata saya membutuhkan 9 bulan untuk menuntaskan seluruh perasaan saya terhadap Stockholm. Kenangan akan suatu tempat yang akan selalu saya panggil rumah.
Sepulang dari Labuan Bajo ketika liburan akhir tahun, saya sudah memutuskan untuk move on. Menutup seluruh chapter Swedia dalam hati. Momen apa yang paling pas selain tahun baru? Hahaha, ternyata memang masalah hati tidak segampang itu dibohongi. Lagi dan lagi saya masih sering terpekur melihat album foto di perangkat gawai, melirik akun twitter berbahasa Swedia, sampai streaming online radio yang saya dengarkan ketika sarapan pagi bersama Arne.
Semuanya tentang kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar selama 2 tahun.
Banyak orang yang kerap mengernyitkan dahi ketika mengetahui saya sepenuhnya belum menuntaskan perasaan saya akan Stockholm. Masih berada dalam memori indahnya hidup di Skandinavia.
”Oh percayalah, hidup saya juga tidak selamanya mudah disana.”
Saya akui memang beberapa kali kerinduan itu sangat memuncak. Bagaimana rasanya berjalan di area Central Station, berkeliaran di Södermalm, sampai nongkrong di Kungstragärden. …
Bulan lalu saya berkesempatan mengunjungi salah satu provinsi termuda di republik ini. Menghabiskan waktu di Gorontalo berarti bersiap dengan hawa panas yang setia menemani, makanan pedas, serta sapaan khas masyarakat Gorontalo.
Kedatangan saya kali ini sebagai tim pendukung peserta pelatihan kepemimpinan yang sedang melakukan visitasi ke pemerintah lokal. Berhubung menjadi tim pendukung artinya harus mengurus segala tetek bengek kebutuhan peserta, syukurlah saya masih bisa menikmati beberapa ikon wisata Gorontalo.
Satu persamaan yang membuat Gorontalo terasa seperti Makassar adalah panas yang menyengat. Walaupun hujan sempat turun di sore hari, gerah tetap terasa. Jadinya harus sering-sering mandi untuk mengatasi keringat berlebih. Rombongan kami menginap di Kabupaten Limboto, sekitar 30 menit dari Kota Gorontalo. Disini bisa melihat apa?
Yah namanya travelling tebengan, akses saya bergerak kurang leluasa. Kami hanya sempat mengunjungi Mesjid Agung Limboto dengan menaranya yang sangat megah. Salah satu ciri khas mesjid yang terletak di pusat kota ini adalah ruangan mesjid yang dirancang terbuka. Angin semilir selalu terasa ketika kami melaksanakan shalat jumat disana. Plus, karena terletak di tengah kota, di belakang masjid banyak terdapat tempat makan lokal yang rasa pedasnya juara.
Berbicara tentang kuliner memang Gorontalo tidak bisa dipisahkan dengan kata pedas. Selama beberapa hari disana, lambung kami dihantam oleh makanan pedas pagi, siang dan malam. Salah seorang supir lokal yang kami gunakan jasanya untuk mengantar kami menjelaskan bahwa itulah ciri Gorontalo. Cuaca yang panas ditambah rasa yang pedas. Bahkan selorohan peserta diklat ada yang mengatakan bahwa hanya nasi putih dan buah saja yang tidak terasa pedas. Nah loh.
Apakah ini pengaruh dari masakan Menado yang terkenal dengan rica-ricanya? Bisa jadi demikian. Tapi rasa pedas itu diganjar dengan masakan yang terasa lezat. Kalau kebetulan berkunjung ke Gorontalo, jangan lewatkan kesempatan untuk singgah di restauran (lupa namanya ) yang terletak setelah pintu keluar bandara. Menu khas yang wajib dijajal yaitu ikan masak woku dan ikan rica-rica tentu saja. Kalau kebetulan berkunjung sampai ke Kab. Limboto, maka rekomendasi tempat makan yang oke jatuh pada RM. Fajar Limboto dan RM. Saung Telaga yang menawarkan konsep makanan lokal. …
*sambil mendengarkan track Jujur kepunyaan Radja dari playlist Terbaik:2000 an SpotifyIndonesia*
Hampir satu tahun ide ini sudah melintas di dalam kepala sebagai salah satu kegilaan yang harus dilakukan ketika berada di Stockholm. Kemudian saya bertanya lagi, kenapa harus menjadi gila hanya untuk mewarnai rambut? Oh iya, karena kita mempunyai banyak norma dan aturan yang mengharuskan untuk diikuti. Aturan yang membuat kita menilai seseorang dari penampilan. Padahal toh pepatah juga menyimpulkan don’t judge the book by the cover.
Saya dan teman-teman PNS lain yang sedang tugas belajar berupaya mendobrak pakem aturan itu. Ketika beberapa orang memanjangkan rambut sampai sebahu ala mahasiswa, saya mewarnainya menjadi warna putih bercampur perak. Rasanya? Melegakan!
Kebebasan yang paling utama itu berasal dari pikiran. Tidak ada lagi pertanyaan ”bagaimana jika” yang terus menghantui dalam kepala. Daripada terus bertanya dan tersesat dalam berbagai kemungkinan, mengapa tidak mencobanya saja? Masalah cocok atau tidak itu urusan belakangan. Tentu saja konsekuensi selalu mengikuti segala perbuatan. Kalau jelek, saya justru akan terlihat seperti bule nyasar yang pirangnya dipaksakan. Hahaha. Reaksi orang pun beragam. Mulai dari shock, kagum, sampai berkata nyinyir. Yah, mau bagaimana lagi, kita tidak bisa memuaskan semua orang kan yah.
Selain merasakan kelegaan karena mencoba sesuatu yang baru, masih ada beberapa hal yang menarik ketika rambut saya berubah menjadi lebih terang;
1. Entah mengapa jadi lebih hits.
Berangkat dari seseorang yang introvert menuju kelam, saya sendiri merasa bahwa manusia itu memang berproses menjadi lebih baik. Segala pengalaman dan cerita saya selama satu setengah tahun di Stockholm membuat saya menempa diri menjadi lebih berani untuk mengekspresikan dan menghargai diri lebih baik. Dari niat untuk berekspresi kemudian mengikuti self-image yang positif. Ketika spring gathering PPI Swedia di Gothenburg, semua orang melihat penampilan saya dengan tampang heran. Rasanya lucu melihat berbagai ekspresi mereka. Beberapa orang malah berkata, ”Sebenarnya saya juga ingin mewarnai rambut tapi takut dengan anggapan orang-orang”
2. Pertanyaan mengenai nilai-nilai Indonesia.
Karena NKRI adalah harga mati. Seriously? Hanya karena rambut saya menjadi lebih terang lantas dianggap gagap budaya dan terkena virus barat. Like, seriously? Padahal disini saya getol mengenalkan budaya Indonesia itu seperti apa, mulai dari ragam makanan yang melimpah ruah, keadaan politik yang kisruh, sampai ikut dalam penampilan tari saman dalam geliat hubungan diaspora Indonesia di Stockholm dan masih ada yang menanyakan nilai-nilai ke-Indonesia-an? People do judge you by the cover.
3. Tidak ada yang abadi All good things come to an end. Petikan lirik Nelly Furtado yang menghiasi bulan-bulan akhir di Stockholm yang manis dan pahit. Ataukah memikirkan hidup yang memang hanya jadi persinggahan sebelum kita kembali kepada pemilik kehidupan. Ah, klise. Tapi seperti itulah kenyataannya. Rambut terang ini hanya akan bertahan selama sebulan sampai saya memotongnya karena kegerahan. Ketika sesuatu bisa hilang, saat itulah kita bisa menghargai setiap momen yang ada.
Live to the fullest!
Walaupun banyak mendapat pertanyaan dari banyak orang, saya tidak harus menjelaskan semua isi kepala. Saya belajar untuk melepaskan semua pertanyaan di dalam kepala dan menikmati hidup seperti apa adanya. Mungkin ketika pulang nanti saya harus mengikuti ritme dan norma yang berlaku lagi, tetapi setidaknya satu pertanyaan telah lepas dalam kepala.