3 Hal yang terjadi ketika saya (akhirnya) mewarnai rambut.
*sambil mendengarkan track Jujur kepunyaan Radja dari playlist Terbaik:2000 an SpotifyIndonesia*
Hampir satu tahun ide ini sudah melintas di dalam kepala sebagai salah satu kegilaan yang harus dilakukan ketika berada di Stockholm. Kemudian saya bertanya lagi, kenapa harus menjadi gila hanya untuk mewarnai rambut? Oh iya, karena kita mempunyai banyak norma dan aturan yang mengharuskan untuk diikuti. Aturan yang membuat kita menilai seseorang dari penampilan. Padahal toh pepatah juga menyimpulkan don’t judge the book by the cover.
Saya dan teman-teman PNS lain yang sedang tugas belajar berupaya mendobrak pakem aturan itu. Ketika beberapa orang memanjangkan rambut sampai sebahu ala mahasiswa, saya mewarnainya menjadi warna putih bercampur perak. Rasanya? Melegakan!
Kebebasan yang paling utama itu berasal dari pikiran. Tidak ada lagi pertanyaan ”bagaimana jika” yang terus menghantui dalam kepala. Daripada terus bertanya dan tersesat dalam berbagai kemungkinan, mengapa tidak mencobanya saja? Masalah cocok atau tidak itu urusan belakangan. Tentu saja konsekuensi selalu mengikuti segala perbuatan. Kalau jelek, saya justru akan terlihat seperti bule nyasar yang pirangnya dipaksakan. Hahaha. Reaksi orang pun beragam. Mulai dari shock, kagum, sampai berkata nyinyir. Yah, mau bagaimana lagi, kita tidak bisa memuaskan semua orang kan yah.
Selain merasakan kelegaan karena mencoba sesuatu yang baru, masih ada beberapa hal yang menarik ketika rambut saya berubah menjadi lebih terang;
1. Entah mengapa jadi lebih hits.
Berangkat dari seseorang yang introvert menuju kelam, saya sendiri merasa bahwa manusia itu memang berproses menjadi lebih baik. Segala pengalaman dan cerita saya selama satu setengah tahun di Stockholm membuat saya menempa diri menjadi lebih berani untuk mengekspresikan dan menghargai diri lebih baik. Dari niat untuk berekspresi kemudian mengikuti self-image yang positif. Ketika spring gathering PPI Swedia di Gothenburg, semua orang melihat penampilan saya dengan tampang heran. Rasanya lucu melihat berbagai ekspresi mereka. Beberapa orang malah berkata,
”Sebenarnya saya juga ingin mewarnai rambut tapi takut dengan anggapan orang-orang”
2. Pertanyaan mengenai nilai-nilai Indonesia.
Karena NKRI adalah harga mati. Seriously? Hanya karena rambut saya menjadi lebih terang lantas dianggap gagap budaya dan terkena virus barat. Like, seriously? Padahal disini saya getol mengenalkan budaya Indonesia itu seperti apa, mulai dari ragam makanan yang melimpah ruah, keadaan politik yang kisruh, sampai ikut dalam penampilan tari saman dalam geliat hubungan diaspora Indonesia di Stockholm dan masih ada yang menanyakan nilai-nilai ke-Indonesia-an? People do judge you by the cover.
3. Tidak ada yang abadi
All good things come to an end. Petikan lirik Nelly Furtado yang menghiasi bulan-bulan akhir di Stockholm yang manis dan pahit. Ataukah memikirkan hidup yang memang hanya jadi persinggahan sebelum kita kembali kepada pemilik kehidupan. Ah, klise. Tapi seperti itulah kenyataannya. Rambut terang ini hanya akan bertahan selama sebulan sampai saya memotongnya karena kegerahan. Ketika sesuatu bisa hilang, saat itulah kita bisa menghargai setiap momen yang ada.
Live to the fullest!
Walaupun banyak mendapat pertanyaan dari banyak orang, saya tidak harus menjelaskan semua isi kepala. Saya belajar untuk melepaskan semua pertanyaan di dalam kepala dan menikmati hidup seperti apa adanya. Mungkin ketika pulang nanti saya harus mengikuti ritme dan norma yang berlaku lagi, tetapi setidaknya satu pertanyaan telah lepas dalam kepala.
5 thoughts on “3 Hal yang terjadi ketika saya (akhirnya) mewarnai rambut.”
Kamu berubah, Mz..
Aku masih seperti yang dulu, mz
kak, kakak hitz banget ya kak 😛
#EdisiKangenStockholm ~~
Berani, kereen..
kok gak ada yang nanya merk pewarna rambutnya apa? berapa lama masa kilat ? eh hahahihihihihihi