Waktu menunjukkan pukul 7 malam ketika pramuniaga toko menyambut kami yang datang untuk mengikuti undian doorprize. Sesekali tawa gugupnya terdengar ketika mengaduk wadah yang terbuat dari kaca berisikan nomor-nomor beruntung. Saya, Kak Anchu dan beberapa orang lainnya saling melirik dengan cemas. Siapakah yang kiranya gerangan dapat menebus sebuah sepatu merk lokal yang kualitasnya sangat bagus hanya 700 rupiah saja?
Dari 4 kali penarikan nomor, tak ayal membuat saya mengingat kembali seluruh pengalaman yang terkait dengan pengundian hadiah secara acak. Entah mengapa saya tidak pernah berjodoh dengan undian semacam ini. Walaupun probabilitasnya sudah sedemikian kecil, ya tetap aja gak pernah dapat. Ketika ulang tahun kantor pun yang hadiahnya melimpah ruah, pun saya tidak mendapat apapun. Hahaha. Malam ini ya ternyata sama saja. Nomor yang saya pegang, 0023. Yang mendapatkan undian? 0028 dan 0022. Seketika ingin ku kayang dilanjutkan dengan roll ke depan. …
Saya sangat menyukai berjalan kaki berkeliling kota. Ketika di Jakarta, keadaan memaksa saya untuk banyak berjalan. Untuk ke halte busway, mencari warteg untuk makan, ataupun mencari jalan pintas dari mal ke mal. Sesampainya di Stockholm, kebiasaan ini malah menggila. Ya karena keadaan juga sih, biasanya saya harus berjalan minimal 5 Kilometer setiap hari. Lah kok bisa?
Sistem transportasi telah dibuat sedemikian rupa sehingga harus diakses melalui berjalan kaki. Dari rumah landlord, saya harus berjalan sejauh 800 meter-1 kilometer untuk mencapai stasiun kereta api. Begitu juga sesampai di kampus, saya menempuh jarak yang sama untuk mencapi gedung kuliah. Belum lagi kegiatan saya berkenala di area Södermalm, biasanya saya mencapai 10 Kilometer sehari. Balik ke Makassar? Huhuhu, sedih.
Satu hal yang saya rasakan ketika balik ke Makassar adalah budaya jalan kaki yang semakin menghilang. Semuanya digantikan naik motor matic kemana-mana. Bahkan hanya untuk ke warung sebelah pun. Cerita saya mengenai petualangan berjalan kaki di bilangan wilayah Singa akan saya ceritakan lain kali. Pokoknya pejalan kaki menjadi pengguna jalan kesekian kalo boleh dibilang.
Karena lama tidak berjalan berkeliaran entah kemana (halah, bilang aja kalo lagi kosong banget), saya memutuskan untuk menikmati sabtu sore dengan menjadi seorang wanderlust. Seorang pejalan di kota sendiri. Mendengarkan playlist ipod di telinga, sambil berjalan lebih pelan. Menikmati interaksi di jalan-jalan dan menikmati waktu lebih lambat.
Hai halo, bagaimana kabar akhir pekan kalian? Mengingat pekan kedua bulan Februari sudah selesai, mudah-mudahan beberapa target ataupun rencana yang digadang dari awal tahun sudah mulai terealisasi. Rencana saya? Ehehe, beberapa masih berjalan di tempat.
Ya selain masih berusaha menyelesaikan beberapa kerjaan tahun lalu, saya juga masih mencari tempat untuk kursus desain grafis dan kursus bahasa Inggris. Sementara rencana untuk lebih banyak olahraga masih terkendala dengan hujan. Bulan Februari sepertinya curah hujan di Makassar tidak main-main. Sekalinya turun, bisa sekalian bablas kebasahan. Seperti cerita saya minggu pagi ini.
Sudah bukan jaman gegalauan melihat hujan (ingat umur woi!), tapi memang sepertinya hujan itu ibarat kryptonite. Melemahkan dan memalaskan. Tapi eh tapi karena udah sebulan gak olahraga karena insiden ketumpahan air panas di tangan kiri, hari ini saya memutuskan untuk ikut kelas Freeletics lagi.
Sesekali mataku melirik awan hitam yang menggelayut di kejauhan. Beberapa kali pula niatku untuk ikut sesi olahraga luntur dibawa angin. Bahkan sudah satu kali loh belok di Jalan Mappaodang untuk kembali ke rumah Mace di Jalan Dangko. Pikirku percuma aja kalau mau cari sehat trus malahan sakit karena masuk angin.
Rupanya cuaca mendung tidak menghalangi beberapa orang untuk berolahraga. Setelah memutar balik di Mangerangi, saya berpapasan dengan para pelari juga pesepeda. Tidak tampak raut khawatir di wajah mereka. Sementara saya masih bolak-balik mau pulang saja. Cemen ah! …
*sambil mendengarkan track Jujur kepunyaan Radja dari playlist Terbaik:2000 an SpotifyIndonesia*
Hampir satu tahun ide ini sudah melintas di dalam kepala sebagai salah satu kegilaan yang harus dilakukan ketika berada di Stockholm. Kemudian saya bertanya lagi, kenapa harus menjadi gila hanya untuk mewarnai rambut? Oh iya, karena kita mempunyai banyak norma dan aturan yang mengharuskan untuk diikuti. Aturan yang membuat kita menilai seseorang dari penampilan. Padahal toh pepatah juga menyimpulkan don’t judge the book by the cover.
Saya dan teman-teman PNS lain yang sedang tugas belajar berupaya mendobrak pakem aturan itu. Ketika beberapa orang memanjangkan rambut sampai sebahu ala mahasiswa, saya mewarnainya menjadi warna putih bercampur perak. Rasanya? Melegakan!
Kebebasan yang paling utama itu berasal dari pikiran. Tidak ada lagi pertanyaan ”bagaimana jika” yang terus menghantui dalam kepala. Daripada terus bertanya dan tersesat dalam berbagai kemungkinan, mengapa tidak mencobanya saja? Masalah cocok atau tidak itu urusan belakangan. Tentu saja konsekuensi selalu mengikuti segala perbuatan. Kalau jelek, saya justru akan terlihat seperti bule nyasar yang pirangnya dipaksakan. Hahaha. Reaksi orang pun beragam. Mulai dari shock, kagum, sampai berkata nyinyir. Yah, mau bagaimana lagi, kita tidak bisa memuaskan semua orang kan yah.
Selain merasakan kelegaan karena mencoba sesuatu yang baru, masih ada beberapa hal yang menarik ketika rambut saya berubah menjadi lebih terang;
1. Entah mengapa jadi lebih hits.
Berangkat dari seseorang yang introvert menuju kelam, saya sendiri merasa bahwa manusia itu memang berproses menjadi lebih baik. Segala pengalaman dan cerita saya selama satu setengah tahun di Stockholm membuat saya menempa diri menjadi lebih berani untuk mengekspresikan dan menghargai diri lebih baik. Dari niat untuk berekspresi kemudian mengikuti self-image yang positif. Ketika spring gathering PPI Swedia di Gothenburg, semua orang melihat penampilan saya dengan tampang heran. Rasanya lucu melihat berbagai ekspresi mereka. Beberapa orang malah berkata, ”Sebenarnya saya juga ingin mewarnai rambut tapi takut dengan anggapan orang-orang”
2. Pertanyaan mengenai nilai-nilai Indonesia.
Karena NKRI adalah harga mati. Seriously? Hanya karena rambut saya menjadi lebih terang lantas dianggap gagap budaya dan terkena virus barat. Like, seriously? Padahal disini saya getol mengenalkan budaya Indonesia itu seperti apa, mulai dari ragam makanan yang melimpah ruah, keadaan politik yang kisruh, sampai ikut dalam penampilan tari saman dalam geliat hubungan diaspora Indonesia di Stockholm dan masih ada yang menanyakan nilai-nilai ke-Indonesia-an? People do judge you by the cover.
3. Tidak ada yang abadi All good things come to an end. Petikan lirik Nelly Furtado yang menghiasi bulan-bulan akhir di Stockholm yang manis dan pahit. Ataukah memikirkan hidup yang memang hanya jadi persinggahan sebelum kita kembali kepada pemilik kehidupan. Ah, klise. Tapi seperti itulah kenyataannya. Rambut terang ini hanya akan bertahan selama sebulan sampai saya memotongnya karena kegerahan. Ketika sesuatu bisa hilang, saat itulah kita bisa menghargai setiap momen yang ada.
Live to the fullest!
Walaupun banyak mendapat pertanyaan dari banyak orang, saya tidak harus menjelaskan semua isi kepala. Saya belajar untuk melepaskan semua pertanyaan di dalam kepala dan menikmati hidup seperti apa adanya. Mungkin ketika pulang nanti saya harus mengikuti ritme dan norma yang berlaku lagi, tetapi setidaknya satu pertanyaan telah lepas dalam kepala.