#Day 2 – Surat untuk masa depan.
Entah sejak kapan ketika membuat rencana bepergian, hal yang selalu diutamakan adalah kuliner atau penganan lokal. Dahulu setiap mendapat dinas ke Jakarta, maka bisa dipastikan Es Krim Ragusa adalah salah satu tempat yang harus dijabani. Begitu pula ketika bertandang ke kota lainnya, rasanya selalu istimewa ketika mencoba berbagai makanan berbeda. Apa yang bisa dinikmati ketika berpetualang ke gang aut di Bogor?
Kebiasaan itu kemudian terus berlanjut kala saya melanjutkan petualanganku di benua Eropa. Dari beberapa negara yang saya kunjungi, salah satu hal yang tidak boleh terlupa adalah pasar tradisional dan makanan lokal. Alasan saya karena di dua hal itulah kita bisa menikmati esensi lokal sebuah tempat. Ketika berinteraksi dengan para penjual, atau sekadar melihat keseharian orang-orang. Sampai sejauh ini yang menjadi favoritku adalah suasana pasar di Riga juga nikmatnya goulash di Budapest.
Sampai kemudian saya tiba di satu titik dan bertanya pada diri sendiri,
”Mengapa saya tidak pernah mengapresiasi makanan lokal sendiri? Mengapa saya tidak pernah memuja atau mencari cucuru bayao ataupun barongko seperti orang lain?”
Sebagai bagian keluarga yang masih mempunyai akar daerah Makassar yang kental, saya beruntung mempunyai banyak tante dan nenek yang handal dalam resep masakan tradisional. Setiap acara nikahan sepupu entah dimanapun, pastilah kue dari Balang Baru (nama jalan tempat tinggal saya) pasti akan ludes dalam sekejap. Entah itu kue lapis, biji nangka, ataupun barongko. Padahal biasanya anggota keluarga yang lain juga akan menghantarkan penganan serupa, tapi entah cap balang baru seperti penglaris jitu.
Saya terbiasa melihat kulkas dipenuhi kue barongko ketika kami memanen pisang yang tumbuh dibelakang rumah. Belum lagi keahlian ibu bertambah ketika mampu membuat cucuru bayao. Olahan kue yang terbuat dari telur bebek dan gula. Semua kue tradisional tersebut hadir dalam keseharianku sehingga tidak pernah terpikirkan untuk mencari atau mengkajinya lebih lanjut.
Barulah ketika berada di tempat yang jauh dari rumah kemudian membuat saya berpikir, bagaimana kalau seandainya resep turun temurun cucuru bayao itu hilang bersama generasi terakhir ibu dan para tante? Dimana saya akan mencari rasa yang serupa? Mungkin semua orang mengetahui resep membuat cucuru bayao atau biji nangka, tapi rasanya makin sedikit orang yang mau bersusah payah untuk mempelajarinya.
Apa yang terjadi kemudian? Bisa dipastikan kue-kue ini menjadi semakin langka. Eksotisme kue hidangan khas pengantin menjadi sebuah kerinduan akan kue tradisional yang penuh dengan nilai-nilai dan cerita khas Bugis-Makassar. Saat ini kehadiran Toko Mama mampu menjadi pengobat rasa rindu bagi mereka yang kebetulan pulang kampung dan ingin menyicipi penganan lokal. Walaupun demikian, beberapa rasa kue telah dimodifikasi sedemikian rupa. Bahkan ketika saya mengajak ibu makan disana, beliau sempat berkata kalau makanannya kurang ini atau kurang itu.
Maka dari itu saya kemudian berniat untuk membuat dokumentasi lengkap seluruh penganan lokal khas Bugis – Makassar sekembalinya ke Makassar. Belum pernah saya melihat buku yang membahas kuliner lokal dengan serius. Saya hanya mempunyai ketakutan bagaimana kalau resep itu nanti akan terputus di entah generasi keberapa, sedangkan kita tidak mempunyai cetak birunya.
Oleh karenanya tulisan ini saya tujukan untuk diri sendiri di masa depan untuk memastikan rencana tersebut sudah berjalan. Rasanya waktu 10 tahun sudah cukup untuk meriset dan membuat dokumentasi yang oke untuk seri kuliner khas Bugis – Makassar. Yang kemudian mungkin bisa dilanjutkan dengan seri kuliner khasanah Sulawesi Selatan. Tapi sebelum itu terwujud, jangan lupa juga utang buku kumpulan tulisan cerita selama bersekolah di Stockholm. Apa dalam 10 tahun kedepan saya akan berubah profesi menjadi penulis?
Setidaknya untuk pekerjaan yang sekarang saya hanya bisa mengira-ngira sampai 5 tahun kedepan. Ketika seluruh tanggung jawab ke badan beasiswa sudah terpenuhi maka pilihannya ada dua. Terus bekerja sebagai abdi negara atau mengejar mimpi yang lain. Tetap semangat, tuan beruang!
*gambar cucuru bayao diambil dari tulisan sahabat saya, Ira Puspita untuk Hello Makassar. Tulisan mengenai cucuru bayao bisa ditengok di http://hellomakassar.com/cucuru-bayao-si-kuning-yang-menggoda/*
One thought on “#Day 2 – Surat untuk masa depan.”
Eaaa…..ada namaku di dalam tulisan ini. Btw tetiba pengen cucuru bayao….slurpp