#Day 1 : My current relationship.
Single.
Singkat, padat, dan jelas.
Pilihan ini diambil tanpa tekanan apapun dan siapapun karena mengingat status saya yang berada jauh seperdua lingkar bumi dari Indonesia. Dulunya saya adalah orang yang percaya bahwa cinta bisa mengalahkan rentangan jarak dan bilangan waktu yang berbeda. 2 kali menyandang status #pejuangLDR menyadarkan bahwa esensi percakapan dan emosi yang disalurkan melalui ruang nyata selalu lebih sehat ketimbang salah paham yang terus terjadi melalui pesan teks.
Medio tahun 2014 saya bertemu dengan seseorang yang membuat kehidupan stagnan belajar bahasa inggris menjadi lebih menyenangkan. Selalu ada alasan untuk pergi mengunjungi lembaga bahasa tersebut selain tenggelam dalam tes ielts atau persiapan kuliah. Seluruh teman kelas sempat menyorakiku untuk mengajaknya berkencan dan melihat peluang kedepannya. Saya sendiri menolak dengan tegas karena mengetahui dalam bilangan bulan toh saya sudah berada di Swedia. Bukannya tidak mau berjuang untuk cinta (tsah), tapi kala itu saya tidak mempunyai bayangan akan seperti apa ritme hidup di Stockholm.
Menjalani keseharian sebagai pejuang tunggal di Stockholm yah berarti membuka kesempatan untuk berkenalan dengan orang baru, atau terjebak dalam kesunyian di tempat yang asing. Beberapa bulan pertama saya habiskan dengan pub mingle sampai ikut berpartisipasi sebagai relawan film. Toh pikirku semakin banyak networking maka semakin banyak pula juga kesempatan untuk bertemu dengan ”jodoh masa depan”.
Which is bullshit.
Hahaha. Persoalan culture differences ataukah personal interest ternyata masih menjadi masalah utama. Maka setelah itu saya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama beberapa teman kelas yang kelak menjadi sahabat. Walaupun teman-teman baru terus bertambah, tetap ada faktor waktu yang menjadi bom di ujung cerita. Mengapa repot-repot membangun komitmen kalau 2016 (tahun ini!) saya harus kembali ke Indonesia. Mending membebaskan diri sajalah dari semua ikatan!
Menjalani hidup penuh kebebasan itu sangatlah menyenangkan karena faktor ”tempat baru” yang akan dieksplor. Tidak pernah ada cerita saya bosan di bulan-bulan pertama. Sampai musim dingin pertama datang. Stockholm berubah menjadi kota yang tidak ramah dengan segala kegelapannya. Rasanya lebih banyak waktu yang dihabiskan didalam rumah ketimbang beredar di coffeshop. Mau kebanyakan nongkrong juga tidak mungkin karena persoalan dana yang terbatas. Jadilah saat-saat ini adalah masa paling suram dari kehidupan jomblo di Stockholm.
Sudah dingin, gelap, sendirian pula.
Sampai sebuah email datang di kotak surat elektronik. Sebuah email sederhana yang kemudian berlanjut kepada percakapan-percakapan tanpa jeda mengenai banyak hal. Rutinitas, uneg-uneg, sampai itineary perjalanan-perjalanan ke beberapa tempat di Eropa. Email-email itu yang menemani kewarasanku melewati tugas kuliah yang menumpuk, ingatan akan rumah dan Makassar yang semakin menghilang, ataukah melepaskan keresahan biasa sebagai manusia.
Email yang membuat saya mampu tersenyum di kereta atau dimanapun ketika membacanya.
Apakah ini yang dinamakan platonik? Entahlah. Saya sendiri tidak berani menjabarkannya. Hubungan kami tidak serumit cerita Zaenab dan Si Doel anak sekolahan, tapi juga tidak sesederhana perasaan Mpret dan Elektra dalam Supernova Petir. Mungkin hanya kami berdua yang mampu menjabarkan setiap barisan kata atau emosi yang terkirim melalui data digital. Terima kasih kepada teknologi!
Tapi layaknya sebuah hubungan yang normal sekalipun, kami juga mengalami pasang surut. Saat ini idle menyambangi kami dengan menyisakan satu ruang pengap ditengah-tengah. Berusaha menerobosnya akan membuat masing-masing pihak akan terlontar pada titik awal lagi. Mungkin ini bentuk keegoisan saya untuk memaknai kata ”I need space”, dan kekeraskepalaan dia dalam mengartikan ”Entahlah, saya merasa tidak mengenalmu lagi”.
Padahal saya masih orang yang sama. Masih memiliki mimpi dan ketakutan yang sama.
Jadi ketika pertanyaan apakah saya sedang berada dalam satu hubungan atau tidak. Maka jawabannya adalah tidak. Salah satu resolusi saya adalah berusaha mengurangi area ragu-ragu dan lebih yakin kepada diri sendiri. Kalau memang sudah saatnya berkomitmen lagi, pasti akan ada jalan untuk menjalankan niat tersebut. Untuk saat ini, yah mari menikmati masa-masa jomblo di tahun terakhir petualangan di Swedia.