Singgah; ketika pencarian selalu dimulai dimana saja.
Membaca Singgah sejenak menimbulkan pertanyaan besar di kepala saya, sebenarnya apa arti kata pulang itu sendiri? Ketika memakai kata Singgah, bisa diartikan sebuah perjalanan sedang dilakukan. Kemana? Perjalanan tersebut tentang apa?
Beberapa jawaban alternatif kemudian akan diberikan oleh 11 penulis yang bercerita dan memaknai kata singgah itu sendiri. Beberapa diantaranya telah saya kenali dengan baik frasa mereka ketika bercerita. Selebihnya? Beberapa tulisan membuat saya terhenyak dengan twist yang ditawarkan.
Ketika membuka barisan daftar isi, mata saya langsung tertuju pada cerita Para Hantu dan Jejak-Jejak di Pasir. Adalah Adellia Rosa yang mengajak kita untuk mendengarkan cerita tentang Rosetta yang kehilangan orang tuanya di laut dan hamper pula kehilangan saudari kembarnya. Cara Adel bercerita menimbulkan sensasi tersendiri. Ketika saya merasa sudut padang skizofrenia dijabarkan di beberapa bagian.
Sebenarnya kehilangan apa yang paling perih dibandingkan dengan kehilangan kenangan?
Kata kenangan menjadi tema besar sebagian cerita. Simak saja cerita Menunggu Dini dan Memancing Bintang. Diajaknya kita menyusuri bagian terdalam pikiran manusia, ketika pelan-pelan sebuah kenangan tidak akan pernah bisa lepas dari benak. Apakah itu tentang cinta pertama, ataukah ketika harus memilih antara mengejar mimpi dan meninggalkan orang yang sangat dicintai.
Entah mengapa banyak segmen yang digambarkan dalam seluruh cerita bersetting di dermaga, laut, peron stasiun, ataukah ruang tunggu lainnya. Semua ini seakan menebalkan arti kata Singgah yang bisa dipahami oleh semua orang. Kemana semua cerita akan berlabuh. Setelah satu peristiwa besar, mampukah kita melangkah maju? Ataukah justru harus tertahan dengan kenyataan yang tidak bisa ditinggalkan?
Langit di Atas Hujan menjawab pertanyaan tersebut. Kinan (kenapa harus nama ini, hey Harigelita?) mengajak kita menikmati oase asmaranya. Ketika hubungannya dengan sang pacar sudah masuk fase stagnan, diceritakannya kita tentang asmara singkatnya ketika berada di Yogya. Apakah memang kemapanan adalah tujuan semua orang? Berapa persinggahan lagi yang harus dilalui untuk mencapai tempat tersebut?
Sepertinya Jia Effendi akan menjadi penulis favoritku berikutnya. Dia mampu memberikan cerita yang sedikit witty, yang membuat saya dua kali membaca cerita tersebut. Diberikannya Jantung untuk berkontemplasi dan cerita Pertemuan di Dermaga tentang pilihan. Bagaimana seandainya kau diberikan kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang telah hilang?
Menikmati buku Singgah membuat kita menemukan sebuah ritme lain dari setiap perjalanan hidup. Beberapa cerita tampaknya mudah tertebak, tapi saya kira tulisan ke 11 orang ini patut diacungi jempol. Ketika pemilihan kata dan twist yang disusun secara rapi mampu menggambarkan setiap persinggahan yang dimaksud, dan menyisakan satu pertanyaan. Dimanakah rumahmu untuk pulang?
(Singgah, Gramedia, 2012)