Catatan dari Makassar Choir Festival.
Saya selalu iri kepada mereka yang bisa membaca tangga nada dengan begitu mudahnya. Menyanyikan do re mi semudah membalikkan telapak tangan. Tidak usah bermimpi membaca not balok, membaca urutan partitur nada dalam angka pun saya sering belepotan. Apalagi ketika disuruh bersuara dengan nada yang konstan. Jatuh-jatuhnya malah fals. *uhuk*
Mungkin karena itu kita harus berterima kasih pada ruang-ruang karaoke yang telah menjadi saksi bisu. Ketika kamar mandi tidak lagi cukup luas untuk menyalurkan bakat yang tidak terselamatkan, maka ruang karaoke keluarga menjadi alat untuk latihan vokal yang ampuh.
Urusan cocok-cocokan nada, itu urusan belakangan. Yang penting nyanyi dulu!
Berawal dari karir sebagai atlit karaoke inilah saya kemudian berkenalan dengan tangga nada dan ikut paduan suara. Sebuah jebakan betmen yang tidak bisa dihindari. Dari situlah kemudian saya mengetahui tipe nada suara saya adalah tenor mengarah ke bass. Cuma masalah pembacaan nada saja yang kacau :P, tapi bukankah dalam hidup kita harus selalu mencoba pengalaman yang baru?
Berbekal pengalaman menakjubkan itulah yang terus membuat saya kecanduan untuk bernyanyi dalam paduan suara. Walaupun kami hanya tampil 2 kali setahun, itupun hanya dalam gelaran internal kantor, saya tetap bangga. Ada rasa yang tidak terbayarkan ketika seluruh peserta yang mendengarkan, larut dalam kegembiraan tatkala medley lagu daerah dibawakan. Semua akan bernyanyi, semua akan tertawa. Sementara kami? Menikmati berada dalam spotlight!
Bisa jadi itu pula perasaan 10 peserta Makassar Choir Festival yang dihelat di Balai Manunggal 2 pekan lalu. Kenapa saya bisa nyasar di acara ini? Berbekal broadcast message dari seorang teman di hari sabtu, jadilah saya yang jomblo lokal kemudian berniat untuk nonton. Acara yang mestinya dimulai pukul 3 sore mesti agak ngaret sedikit karena, yah persoalan teknis –atau menunggu pejabat yang akan membuka acara—yang cukup mengganggu. Setelah sambutan ini itu dan seremonial pembukaan, acara resmi dimulai pukul 5 sore.
Gambaran saya tentang skena-skena serial Glee akhirnya menjadi nyata. Ketika peserta pertama muncul dan membawakan lagu “Apanya Dong” dan “Ratu Sejagad”. Saya terhenyak. What the Earth is happening? Tidak ada lagi konsep konvensional bahwa paduan suara harus berdiri kaku membentuk barisan. Peserta pertama hadir dengan koreografi yang rapi dan menyenangkan untuk dilihat! Riuh rendah peserta terus terdengar setelah mereka selesai tampil. Mereka harus sial mendapat giliran pertama. Groginya masih terasa di beberapa bagian. Seringkali suara sang vokalis utama harus tenggelam karena suara keyboard yang terlalu besar. Tapi selebihnya? Keren!
Penampil yang hadir semuanya berjumlah 10 grup, sayangnya saya hanya bisa menyaksikan 5 penampil saja sebelum jeda maghrib. Peserta kedua hadir dengan format paduan suara formal dan menyanyikan acapella dua buah lagu berbahasa Inggris. Yang sayangnya saya tidak dapat menangkap apa yang mereka ucapkan. Padahal dari segi visual, outfit mereka keren! Sebagian anggota paduan suara mengenakan jas tutup yang dimodifikasi. Cantik-cantik dan cakeup!
Inilah yang membuat paduan suara menjadi tontonan yang wajib. Ketika memasuki pelataran Balai Manunggal, saya melihat beberapa kelompok yang sedang berlatih. Outfit mereka keren-keren. Tidak lagi dengan seragam hitam standar, ada juga yang menggunakan pakaian khas Bali. Sayang saya tidak melihat penampilan mereka.
Yang paling mencengangkan adalah kelompok paduan suara dari salah satu gereja di Makassar. Karena acara ini terbuka untuk umum, maka segala kategori kemudian dipertandingkan. Rasanya penampilan mereka adalah yang terbaik di jeda pertama kompetisi menyanyi ini. Dibuka dengan suara alat musik tradisional serupa Tifa, pelan-pelan barisan suara tenor, bass, alto menyatu dan membuat harmoni yang indah. Pantas saja rasanya ketika penonton memberikan standing applause selepas penampilan mereka.
Dari catatan ketua panitia ketika memberikan sambutan, Makassar Choir Festival ini diharapkan bisa menjadi pemersatu dan menjadi salah satu kegiatan positif untuk para pemuda dan remaja. Walaupun banyak hal yang mesti dipersiapkan dan butuh waktu setahun untuk pelaksanaannya, rasanya kita harus member acungan jempol untuk panitia. Karena kompetisi choir seperti ini sudah terlalu sering dilakukan di luar daerah, ataupun di luar negeri. Padahal apabila dikemas dalam konsep yang lebih matang, rasanya festival ini bisa menjadi tontonan yang wajib disaksikan.
Sampai jumpa di Makassar Choir Festival tahun depan, dan mari bernyanyi apapun jenis suaramu!
nb : ini adalah salah satu video paduan suara favorit saya, Paduan Suara Mahasiswa Universitas Hasanuddin ketika berlaga di salah satu festival di luar negeri. Bertanding di kategori Folklore, Barasanji dan Ati Raja sungguh membuat merinding