Tortilla! I choose you! *sambil lempar poke ball* *ditoyor*
Setelah Februari dilalui dengan atraksi masak beraneka ragam masakan, akhirnya mood untuk bulan ini kembali ke awal. Masak kalo ada niat saja. Hahaha. Terkadang masak bisa menjadi beban ketika ingin mengikuti semua keinginan lidah. Jadinya semua bahan harus disiapkan. Tapi karena paper dan minggu final sudah didepan mata, maka jadilah dua minggu kedepan akan makan seadanya XD.
Kalau bukan Madeleine yang mengingatkan, mungkin saya sudah lupa hitungan hari yang saya jalani di kota ini. Bertemu dengan orang-orang baru, mendatangi tempat-tempat yang mempunyai ceritanya masing-masing. Mengapa saya sangat menyukai Stockholm? Karena saya bisa menemukan efisiensi bertemu dengan ritme kota yang sangat cepat. Ruang-ruang terbuka yang sangat memanjakan mata, serta orang-orang yang ramah. Rasanya seperti menyesuaikan dengan keakraban yang terasa familiar.
Saya juga sangat berdosa dengan blog radioholicz. Niatnya akan bercerita banyak tentang Stockholm dan ritme hidup selama disini, nyatanya masih beberapa postingan bertajuk Stockholm dan Swedia. Baiklah, ini sebagai postingan pertama dari sekian banyak cerita mengenai budaya, kebiasaan dan foto-foto selama saya bertualang di Stockholm. Berapa hari lagi saya akan menghabiskan waktu disini? Ratusan! …
Ketika saya mengunggah foto Coto Makassar di salah satu akun media sosial, seorang teman lantas berkata, lah kalau seribet itu masakan Indonesia, kenapa kamu mau bersusah payah membuatnya? Jauh-jauh ke Stockholm hanya untuk belajar masak?
Saya hanya bisa tersenyum sepintas, malas untuk menanggapi komentar tersebut. Saya sendiri percaya bahwa makanan bisa menjadi obat anti homesick yang bisa tiba-tiba menyerang. Melihat foto coto, mie kering, bakso melintas setiap hari di timeline membuat saya hanya bisa mengurut dada. Tapi saya tidak pernah mengeluh, hanya memberi emoticon frown disertai patah hati yang besar. Hahaha, rasanya sama seperti ketika teman-teman saya melihat beraneka foto yang saya posting. You get some, you lose some.
Sebenarnya pasokan bahan makanan Asia tidaklah terlalu susah di Stockholm. Toko andalan saya, Hongkong Trading, belum pernah mengecewakan. Segala rupa ikan dan sayur melimpah ruah, mulai dari kangkung, kacang panjang, santan instan, tempe, dan pete! Tapi oh tapi, tentu saja berbagai macam bahan makanan tersebut juga harus ditebus dengan harga yang lumayan. Jadinya saya hanya bisa berpesta dan masak segala resep nusantara hanya sekali sebulan. …
Hahaha, pertanyaan ini adalah sebuah ironi yang menjebak ketika track Don’t Stop Believing menjadi lagu pertama yang saya dengar di tahun 2015. Tepat 10 menit setelah pergantian tahun dan panggung utama hanya memutarkan montase perayaan tahun lalu, akhirnya perayaan malam tahun baru di Slussen kembali meriah dengan penampilan beberapa musisi lokal Swedia. Lagu pertama mereka? Don’t Stop Believing! What a cliche.
Setelah menghabiskan sore dengan membuat bakso dan bakwan, serta karaokean bersama teman-teman PPI Stockholm, kami memutuskan untuk bergerak menuju Slussen, sebagai pusat keriaan tahun baru di Stockholm. Berdiri selama satu jam di udara terbuka tidak pernah menyenangkan. Tapi merayakan pergantian tahun di tempat yang begitu asing pasti mendatangkan sensasi yang berbeda. …