Ribetnya masakan Indonesia (beserta 101 alasannya).
Ketika saya mengunggah foto Coto Makassar di salah satu akun media sosial, seorang teman lantas berkata, lah kalau seribet itu masakan Indonesia, kenapa kamu mau bersusah payah membuatnya? Jauh-jauh ke Stockholm hanya untuk belajar masak?
Saya hanya bisa tersenyum sepintas, malas untuk menanggapi komentar tersebut. Saya sendiri percaya bahwa makanan bisa menjadi obat anti homesick yang bisa tiba-tiba menyerang. Melihat foto coto, mie kering, bakso melintas setiap hari di timeline membuat saya hanya bisa mengurut dada. Tapi saya tidak pernah mengeluh, hanya memberi emoticon frown disertai patah hati yang besar. Hahaha, rasanya sama seperti ketika teman-teman saya melihat beraneka foto yang saya posting. You get some, you lose some.
Sebenarnya pasokan bahan makanan Asia tidaklah terlalu susah di Stockholm. Toko andalan saya, Hongkong Trading, belum pernah mengecewakan. Segala rupa ikan dan sayur melimpah ruah, mulai dari kangkung, kacang panjang, santan instan, tempe, dan pete! Tapi oh tapi, tentu saja berbagai macam bahan makanan tersebut juga harus ditebus dengan harga yang lumayan. Jadinya saya hanya bisa berpesta dan masak segala resep nusantara hanya sekali sebulan.
Selain faktor harga, yang membuat saya berpikir untuk memasak adalah segi ribet dan penuh atraksi ketika menyiapkan satu menu lengkap khas menu Indonesia. Sayur, ikan, nasi dan biasanya dilengkapi dengan sambal. Bulan pertama di Stockholm ketika stok bumbu masih melimpah, saya masih bisa masak tiap hari. Ternyata oh ternyata, kesibukan membaca jurnal, mengejar jam kereta dan mood bisa menentukan seberapa sering saya masak ”besar”.
Bagi mereka yang terbiasa masak pastinya sudah tahu bahwa seberapa kecil atau besar porsi yang dimasak, waktu yang dibutuhkan biasanya tidak jauh berbeda. Mulai dari kupas bawang, iris sayur, masak ikan, sampai bagian cuci piring biasanya membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam. Ya itu tadi, tergantung apa yang dimasak juga. Bagi yang terbiasa dengan menu lengkap, rasanya susah menahan diri untuk tidak menyiapkan menu serupa (I love you mom! Mbak-mbak warung Tegal!), apalagi kalau memasak masakan seperti coto atau sop ubi.
Akhirnya salah satu kebiasaan saya adalah menjelajah berbagai situs yang memuat masakan Indonesia dan Makassar pada khususnya. Salah satu blog favori saya adalah kepunyaan mbak Hesti di http://hesti-myworkofart.blogspot.se. Setelah mendapat resep yang kira-kira oke, selanjutnya berpikir untuk bumbu dan bahan. Masalahnya adalah beberapa bumbu harus dibeli dalam porsi besar, sedangkan seberapa sering sih kita masak dan makan coto? Jadinya ketika memutuskan untuk masak sesuatu, biasanya berpikir jauh lebih lama daripada sesi memasaknya.
Dari beberapa masakan yang pernah saya masak, kategori makanan paling ribet jatuh pada Sop Ubi! Mungkin beberapa orang tidak familiar dan cenderung merasa aneh dengan makanan ini. Tapi di Makassar, Sop Ubi rasanya menjadi makanan khas yang sedap disantap kapan saja. Bahannya berupa mie kuning, tauge, kacang goreng, ubi/singkong goreng, dan biasanya ditambah bakso sebagai pelengkap. Tak lupa pula kuah yang terbuat dari kaldu ayam atau sapi.
Maka jadilah satu sore di bulan Januari saya memaksa diri untuk membuat versi lengkap sop ubi. Pertama membuat bakso dulu. Syukurlah daging cincang mudah ditemui di toko langganan saya (tentu saja halal). Campuran bumbu yang biasanya segala rupa hanya diganti dengan bawang putih, tumisan bawang bombai, tepung tapioka, penyedap rasa, dan putih telur. Waktu yang dibutuhkan? Satu jam! Mulai dari membuat bola-bola daging sampai menunggunya matang dengan sempurna.
Selanjutnya menggoreng singkong, kacang dan bawang merah sebagai pelengkap. Tidak lupa pula menyiapkan jerangan air panas untuk memasak mie dan menyiram tauge. Terakhir menyiapkan kuah bakso dengan bumbu standar, tumisan bawang putih, merica, sedikit pala dan kaldu ayam. Total waktu memasak adalah 3 jam, dengan waktu makan tidak lebih dari 10 menit XD
Tapi dari semua kerepotan yang terjadi ada banyak hal yang bisa dipelajari. Rasanya saya lebih menghargai usaha setiap orang lebih baik, entah itu Ibu yang terbiasa menyiapkan makanan lengkap mulai dari sarapan sampai makan malam, atau orang-orang yang bekerja di bidang kuliner. Tentu saja keahlian diri sendiri juga bertambah, tidak lagi hanya masakan standar seperti tumis kangkung atau goreng tempe, tapi sudah ke taraf masak steak, potato wedges, coto, toppa’ lada dan beraneka ragam makanan lainnya.
Memang benar setiap orang akan dipaksa untuk keluar dari zona nyamannya. Buat teman-teman yang berencana kuliah di luar negeri, silahkan persiapkan setidaknya beberapa skill masak yang standar, untuk menghindari makan roti dan olesan nutella setiap hari. Bon apetite!
One thought on “Ribetnya masakan Indonesia (beserta 101 alasannya).”
better yet, bawa istri yang jago masak, like my dad did. *kabur*