Mereka yang saya sebut rumah.
Saya selalu mengingat turning point ketika pertama kali mengenal komunitas. Mengenal riuhnya kebersamaan, bagaimana mensiasati perbedaan, menyelesaikan konflik, sampai pada batas terakhir, bagaimana menerima diri sendiri. Apa adanya.
Menyebut kata introvert, mungkin banyak orang akan mengernyitkan dahi. Memasang muka tidak percaya kalau saya mengatakan sifat ini melekat sampai awal 2005. Saya? Dengan semua barisan komunitas yang saya huni? Percayalah, masa SMP dan SMA membuat saya tenggelam pada perasaan rendah diri. Pasalnya, masa itu saya tidak bisa mengekspresikan diri. Belum menemukan teman sealiran. Saat semua orang membahas Counter Strike atau Sepak Bola, saya malah sibuk mencerna single terbaru Linkin Park atau Blur. Jadilah saya menjadi makhluk anti sosial. Hanya berinteraksi seadaanya.
Pengalaman melarikan diri dari kerumunan kampus inilah yang ternyata membawa saya kepada satu komunitas yang keren. Setelah sekian minggu berdiam diri di pojokan kafe buku Biblioholic –ya, ketika tidak ada mata kuliah, saya keluar kampus dan ke kafe buku ini—saya akhirnya memulai interaksi dengan para penggiat Ininnawa. Salah satu hal yang membuat saya senang berada disana adalah kebersamaan yang begitu hangat, tanpa terlalu banyak mencampuri urusan personal. Mereka tidak pernah bertanya mengapa saya ada di kafe buku itu dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, misalnya.
Mungkin memang masalahnya pada saya. Berbekal pengalaman masa lalu yang merasa tidak ada yang akan memahami saya –bahkan semangat berdrama saya sudah ada dari dulu!—saya menutup diri dari semua komunikasi. Bodohnya! Tapi terima kasih sebesar-besarnya pada Aan Mansyur, Amelia Moha, Ni Nyoman Anna Marthanti, Armin Hari, Anwar Jimpe Rahman, Fitriani Dalay, yang menyadarkan saya. Sebenarnya dunia ini merupakan taman bermain yang indah. Terlepas dari semua kompleksitasnya.
Mulailah perjalanan saya dalam dunia komunitas. Masuk sebagai anggota divisi Rumah Kaum Muda, bagian komunitas Ininnawa yang membawahi kegiatan untuk remaja dan anak sekolah. Oh ya, maafkan saya belum mengenalkan Ininnawa. Sebuah komunitas yang dulunya aktif dalam dunia literasi dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Berbagai kegiatan aktif dilakukan sepanjang tahun 2000 an, mulai dari penelitian sosial, penerbitan buku, layar tancap keliling, festival film, sampai menyelenggarakan Youth Camp!
Apa yang saya temui ketika pertama kali berkomunitas? Tentu saja gagap budaya. Sebuah frase yang sangat familiar ketika masuk ke lingkungan baru. Saya belajar untuk mengerti sifat-sifat individu, bagaimana menghormati, bagaimana belajar, tanpa harus merasa terintimidasi. Siapa yang tidak mengenal @hurufkecil, sastrawan muda berbahaya dari Makassar? Atau Armin Hari, fotografer yang telah memenangkan banyak penghargaan foto? Dengan merekalah saya menempa menjadi individu yang percaya pada diri sendiri.
Pemahaman dan penerimaan saya kepada diri sendiri terjadi pada persiapan Youth Camp. Sebuah program penelitian untuk anak SMA. Menetap di pedalaman untuk menyimak kultur masyakarat setempat. Selama 2 minggu kami akan terisolir dari dunia luar. Mengenal grass root sendiri. Ketika ditunjuk menjadi fasilitator, saya menolak. Dengan alasan tidak pede dan malu. Mereka menohok saya dengan pernyataan,
“memangnya kenapa kalau kamu tidak tahu? Kita semua dalam proses belajar disini”
“memangnya kalau tidak memulai sesuatu, kamu akan pergi dari satu titik?”
“memangnya kenapa kalau kau gemuk? Toh kita berteman tidak melihat fisik”
Khusus untuk pernyataan terakhir memang menjadi momok saya bertahun-tahun. Aspek keminderan saya yang terbesar. Badan sebesar beruang, tidak mempunyai kemampuan fasilitasi, hanya bisa makan dan tidur plus baca komik, saya bisa diandalkan dari segi apa?
Ternyata mereka melihat dari sudut pandang lain. Inilah komunitas, ketika mereka bisa menghargaimu dari individu. Tidak melihat aspek fisik. Mereka tahu, saya bisa nyaman bergaul dengan orang baru. Mereka hapal, saya bisa meramaikan situasi. Mereka mempercayai saya untuk memimpin satu kelompok dibantu dengan fasilitator lain.
Tidak semua hal bisa berjalan mulus. Konflik senantiasa terjadi. Bagaimana rasanya besar dan hidup di sebuah komunitas yang telah berumur lebih 10 tahun? Mengagumkan! Walaupun saya tidak bergabung dari awal, saya mendengar banyak cerita ketika awal “rumah” ini mulai dirintis. Dari bukan siapa-siapa menjadi orang yang berpengalaman. Saya selalu penasaran, akankah saya mendapati “konflik-konflik” itu?
Tentu saja iya. Saya merasakan bagaimana simpul-simpul kekeluargaan menjadi sedikit renggang karena persoalan pribadi. Bagaimana “uang” pernah menjadi hal yang sangat sensitif, sehingga terkadang emosi menjadi sangat tidak stabil. Tapi rumah itu tetap ada, menyambut hangat setiap orang yang hilang, atau pergi untuk sementara.
Dalam refleksi satu dekade Komunitas Ininnawa pada tahun 2010, semua orang telah menjalani dan melalui prosesnya masing-masing. Kemana kita semua pada akhirnya? Batas-batas individu yang melebur dan menjadi saudara. Ada ikatan yang dipererat, simpul yang disatukan, sampai mereka yang pelan-pelan melepaskan diri. Mencari esensi diri sendiri. Saling melupakan?
Mungkin ini bukan pertanyaan terakhir yang bisa dicapai. Tahun 2012, saya masih menghapal dimana jejak semua anggota komunitas Ininnawa. Ada yang menyelami mimpinya untuk menjelajahi lautan Indonesia bersama kapal pesiarnya, ada yang membangun rumah tangga dan melanjutkan penerbitan Ininnawa. Sementara yang lain, masih berkarya di bidang spesialisasinya masing-masing, tanpa pernah melupakan akar yang telah membuat mereka menjadi pohon yang sekuat sekarang.
Saya percaya apa yang dikatakan Dewi Lestari dalam buku Supernova : Petir, bahwa suatu hari kita akan menemukan manusia simpul yang akan membuka cangkang pengetahuan kita. Membalik tempurung yang selama ini dihuni oleh sang katak. Membuka mata bahwa ada dunia yang siap dijalani bersama komunitas blog, rumah singgah, tukang review musik, semuanya menjadi keseharian.
Komunitas Ininnawa telah membawa saya pada perjalanan kepada teman-teman yang nanti tarafnya telah menjadi saudara. Dimana saya menemukan “rumah” yang lain pada keriuhan Komunitas Blogger AngingMammiri, pada keihlasan menjadi relawan di Sokola Pesisir, nikmatnya berimajinasi bersama Komunitas Fiksimini Makassar, sampai serunya berpetualang bersama Makassar Backpacker. Saya, introvert? Ah bahkan sayapun akan mengetawai diri sendiri, saya ini community abuser!
2 thoughts on “Mereka yang saya sebut rumah.”
*melipatgandakan diri* *peluk*
Peluuuukkk papa bear