Negeri 5 Menara; tentang mimpi dan harapan.
Ketika credit title muncul selepas film Negeri 5 Menara (N5M) usai, saya hanya bisa berkata,
“Hanya itu saja?”
Perkataan ini juga diamini oleh salah seorang anggota geng nonton saya. Dia yang kadar kefasihannya dalam menyimak jalan cerita sebuah film wajib dipertanyakan. Dia juga merasa ada yang kurang. Tidak ada yang salah pada film ini, cuma beberapa adegan rasanya tidak cocok.
Tentu saja membandingkan sebuah buku dan film akan berbeda rasanya. 2 media yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Interpretasi yang dibuat oleh Salman Aristo bisa jadi berbeda dengan apa yang ada dikepala saya. Pun bisa juga berbeda dari apa yang dibayangkan oleh Ahmad Fuadi ketika menuliskan buku ini. Lantas dimana salahnya?
Semestinya ini cerita tentang Alif (Gazza Zubizareta), remaja dari pelosok Maninjau yang bermimpi untuk berkuliah di ITB. Apalagi selama ini mimpi tersebut disulam bersama sang sahabat, Randai. Apa jadinya ketika Amak (Lulu Tobing), justru menyarankan Alif untuk “mondok”? Alasannya supaya ilmu agama yang diperoleh Alif bisa berguna untuk orang banyak kelak.
Setelah melalui proses argumen yang alot dan pakai acara ngambek, misi Alif untuk menjadi barudak bandung harus ditepis. Dia memulai perjalanannya ke Pondok Madani bersama sang Ayah (David Chalik), sebuah pesantren di pelosok Ponorogo, Jawa Timur. Kisah Alif bahkan belum dimulai ketika menyadari bahwa pondok ini terasa “kampungan” dan diisi dengan kedisiplinan ala militer.
Kehidupan Alif dalam “pondok” inilah yang menjadi alur cerita film yang disutradari oleh Affandi Abdul Rachman. Kisahnya berubah menjadi cerita persahabatan antara dia dan teman-teman satu kamarnya. Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara.
Film ini menjadi berjalan timpang ketika benang merah cerita menjadi samar-samar. Okelah ini cerita tentang persahabatan sejati, tapi bukankah ini cerita tentang Alif? Pergolakan emosi yang seharusnya bisa lebih jelas terungkap ketika dia mendengarkan mantra “Man Jadda Wajada!” untuk pertama kali. Bagaimana mantra ini kemudian menjadi dasarnya untuk bermimpi keliling dunia bersama para sahibul menara. Tapi perannya justru terlibas oleh peran Atang yang jago memperbaiki genset, bahkan dikalah pamor oleh tokoh Baso yang memiliki ceritanya sendiri.
Apakah saya terdengar terlalu sinis? Beberapa kali saya juga menghela nafas bahagia mengikuti alur cerita film ini, pun ketika Alif dan para sahibul menara menyebutkan mimpi-mimpi mereka, saya sempat tercenung. Apakah saya telah melupakan barisan sederhana mimpi yang akan membawa saya kepada pengalaman baru? Apakah usaha saya telah maksimal? Apakah niat saya telah kuat? Ini yang menjadi pikiran saya, sampai saya melihat Andhika Pratama muncul di salah satu adegan.
Hmm, Andhika Pratama? Hmm, Ikang Fawzi? Yah, saya hanya bisa bilang, “mau apa lagi?” walaupun dalam pikiran saya menggerutu. Ditambah lagi Sakurta Ginting mengganjilkan jumlah misscast dalam film N5M. Maaf, bukan mereka yang ada di kepala saya sewaktu menyebutkan tokoh Randai, Kiai Rais dan Pimpinan Redaksi Majalah dimana Alif mengenal dunia jurnalistik pertama kali. Maaf, mereka salah tempat.
Akhirnya ketika angka 500 ribu penonton dirilis oleh sebuah portal berita, saya tetap mendukung film ini. Penuh dengan pesan yang bermanfaat. Mengembalikan pada pemahaman dasar bahwa siapa yang berani bermimpi, harus bangun untuk mengejar mimpi tersebut.
One thought on “Negeri 5 Menara; tentang mimpi dan harapan.”
Kyai Rais di pikiran saya adalah seseorang yang wajahnya bercahaya karena kebijaksanaan dan kesholihannya *ehm