Menunggu.
Apa yang bisa diajarkan sebuah kota kepadamu tentang lajunya yang begitu kencang? Saya selalu heran dan ternganga melihat ritme di ibukota. Kalau memang bisa dikatakan juga, saya sempat terbawa oleh riuhnya. Riuh melawan kemacetan, bergegas kesana-kemari. Karena perkiraan waktu bisa berdampak banyak. Macet salah satunya.
Ketika hidup tidak berjeda, apakah akan ada waktu untuk menghela napas?
Satu yang pasti adalah kota ini membuat saya kembali mengenali arti kata menunggu. Bersabar. Bahwa walaupun mungkin kau telah bersiasat dengan sedemikian rupa, selalu ada faktor X yang kemudian membuatmu harus lebih bersabar. Entah itu dengan jadwal kereta api, ataukah menunggu angkot yang akan melintas.
Maklum saja. Perjalanan di Makassar tidak pernah memakan jarak atau waktu yang berarti. Setiap tempat kemudian menjadi dekat, karena selalu ada Andra, sang motor Byson kesayangan yang siap diandalkan. Terkadang bahkan tidak ada jeda yang tersisa. Berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain. Semuanya serba cepat.
Padahal tidak semua menunggu itu harus menyakitkan. Ketika perlahan saya bisa memperhatikan keadaan sekitar. Ada ribuan syukur yang harus diucapkan. Melihat penjual asongan menjajakan barang dagangannya, melihat mereka yang harus berjibaku dengan hidup, ataukah terkadang merasa miris, melihat laju ibukota yang terkadang tidak manusiawi.
Menunggu juga terkadang menjadi ironi. Ketika beberapa orang seperti sangat bergegas di jalan, mereka bahkan rela menunggu sesuatu yang berbeda. Seperti semalam, puluhan orang rela menunggu hampir 60 menit untuk mendapatkan pesanan martabak manis yang beroleskan cokelat mahal. Harganya pun menurut saya sangat mencengangkan, ketika 18 potong martabak harus ditebus dengan selembar uang seratus ribu. Asalkan rela menunggu, ada beberapa kenikmatan yang bisa didapatkan.
Tidak selamanya menunggu itu harus dilalui dengan gerutuan. Semuanya menjadi konsekuensi dari pilihan. Tidak ingin menunggu lama busway? Ya ambil kenyamanan itu dengan taksi. Tapi dengan imbalan yang tidak sedikit tentu saja. Inilah konsekuensi-konsekuensi yang memang harus berjalan dengan seharusnya. Bahwa memang terkadang siasat baru harus dilakukan, dan menjadikan waktu sebagai pembagi jeda yang sangat mumpuni.
Tidak selamanya kita harus merutuk jeda yang terselip. Ketika itu memberi ruang untuk berpikir, untuk bernafas sejenak. Bahwa hidup adalah ritme yang memiliki keseruannya sendiri. Selamat menunggu.
We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?
(Maroon 5 ~ Daylight)
5 thoughts on “Menunggu.”
wishlist nomor 1 setelah nanti balik ke jakarta: menyambangi martabak coklat mahal itu. yuk, patungan :)))))
saya senang menunggu
saya percaya, kota-kota yang akan kita diami akan memberikan pelajaran….kalau saya dapat pelajaran “berani”. termasuk “berani” untuk menunggu ^^
Jakarta taught me a lot. Sabar, menunggu, bersiasat lalu lintas, atur waktu, mandiri dan berani.
supaya menunggu bisa jadi positif harus dibarengi dengan rasa sabar dan syukur ya