Di Pemakaman Hati Kita
Penanda apakah itu sayang? Ketika bunga mekar di sepanjang jalan. Di tempat kita biasa mencuri waktu. Menghindari belasan mata yang memandang aneh. Menyisipkan imaji tentang biru, merah, hijau. Segamblang itu perasaanku. Kala memegang, mengusap, memainkan bagian apa saja di tubuhmu. Semeriah itu. Seramai itu.
16. 45. Itulah waktu favorit kita. Diantara 24 jam yang berputar sepanjang hari, entah berapa banyak dan berapa lama waktu yang kau curi di pikiranku. Berayun searah jarum jam. Entah dengan mimik marahmu, entah dengan senyum lugumu, bahkan ekspresi kagetmu pun masih kuhapal dengan jelas. Sepolos itu.
Apakah hatimu telah mati? Sesederhana itu pertanyaanku. Kita masih di jalan yang sama. Bunga-bunga itu telah mati. Terpapar sinar matahari atau hujan berlebih. Atau memang sudah saatnya mereka terganti. Dengan tunas dan pucuk baru. Bahkan kita tidak bisa menahannya. Tidak ada lagi pandangan menyelidik kala jari tergenggam, tangan merangkul. Kecup pun tidak ragu menghiasi pelupuk dahimu. Sebahagia itu.
Apakah hatiku telah mati? Sesederhana itu pertanyaanmu. Diantara 24 jam yang seolah berlari, tidak ada lagi penanda darikuu. Ternyata kau masih menunggu di tempat itu. 16. 45, di jam favorit kita. Tidak ada lagi yang bisa menirukan wajahmu sedemikian rupa selain aku. Lesung pipi yang sering saya pegang kala kau tertawa. Kau merindukannya.
Disinilah kita berdiri sekarang. Di pemakaman hati kita. Berdiri saling melirik. Saling mematikan perasaan satu sama lain. Tidak lebih dari kenangan. Tidak ubahnya seperti cerita lalu. Kita masih berempat seperti dulu. Ketika saya pertama bertemu denganmu. Kau bersama pacarmu, saya bersama kekasihku.