Surat kepada (calon) pemimpin kota kami
Tidak banyak yang bisa kami katakan disini wahai bapak yang katanya akan memimpin kota kami. Pernahkah tuan berjalan ke pelosok kota kita? Jauh ke dalam lorong-lorong jalan raya. Disana masih ada anak-anak yang tidak bersekolah. Alasannya sederhana, orang tua mereka tidak mampu.
Tidak banyak yang bisa kami suarakan disini wahai bapak yang katanya akan memimpin kota kami. Semuanya jelas lebih kompleks daripada memberi para supir bentor berupa subsidi, dan mereka akan memujamu sebagai dewa? Katakanlah mereka hanya mengambil apa yang ada didepannya saja. Karena beginilah keadaan kota kita, wahai tuan. Masih banyak orang yang tidak mempunyai penghasilan yang layak.
Tidak banyak yang bisa kami tunjukkan disini wahai bapak yang katanya akan memimpin kota kami. Lihat jajaran ruko itu? Rumah berupa toko yang tuan kira sebagai lambang modernitas kota kita. Bukan tuan, kami tidak semodern itu. Kami hanya membutuhkan banyak ruang terbuka. Untuk sejenak melepaskan kesal kami, karena keadaan hidup. Entahlah kalau berita itu benar tuan, ketika katanya tuan juga mendapat jatah dari satu unit ruko yang baru terbangun. Maka kami tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Tidak cukup senyum tuan yang terpampang di sudut kota. Kami bosan tuan, tanpa diberi tahu sekalipun. Itu adalah hari-hari besar agama kami. Kenapa tuan tidak menjadi model saja? Kami capek tuan, seolah-olah harus berebut perhatianmu. Supaya daerah kami diperhatikan. Tahukan tuan, bahwa kami yang akan memilih tuan nantinya?
Sudut ini, jalan itu, daerah ini, sektor itu, ah tuan. Itu hanyalah sebagian kecil dari seluruh kota kita. Pernahkah kau berjalan kesana tuan? Atau tuan hanya mendengarnya dari orang-orang? Pertunjukan memang masih lama tuan, sederhana saja permintaan kami. Tolong buat kota kami menjadi lebih nyaman lagi dihuni.