Cerita dari Ruang Tunggu
Entah sudah beberapa kali saya mondar mandir di ruangan itu. Entah ketika ingin beranjak ke bagian bidang lain di kantor ini, ataukah hendak ke Musholla kantor di lantai 2. Saya melihatnya setiap hari, karena tempat inilah yang harus saya lewati setelah finger check untuk menandakan saya hadir di kantor.
Saya menghapal jumlah kursi yang ada di ruang tunggu, mengingat dengan baik warna marun dari sarung bantal yang baru, bahkan saya masih membaui pewangi lemon yang terus beterbangan setiap hari. Inilah ruang persimpangan, sebuah ruangan jeda. Ruangan pemisah. Kami lebih sering menyebutnya lobby. Karena inilah tempat bertemu sejenak, ataukah berpisah sambil menyisipkan harapan. Berapa banyak cerita yang telah dilihat atau didengarnya?
Berjeda jarak, saya selalu kalah oleh perasaan. Kenapa harus memikirkan seseorang yang jauhnya berada di bagian bumi yang lain? Apakah memang hitungan waktu dan ruang bisa dikalahkan? Ternyata bisa.
Suatu sore yang basah, hujan masih terus menggenangi angkasa, dan sepasang suami istri yang tengah bercengkrama di lobby depan. Sesekali tangan mereka saling menggenggam, tapi lebih seringnya terlepas ketika seseorang melintas. Ada kerinduan yang teramat sangat di mata mereka. Tapi mereka masih harus bersabar. Sang istri masih mengikuti pendidikan di kantor, itu berarti hanya sebatas lobby depan mereka bisa bercerita akrab. Entah tentang apa, saya pun tidak menangkapnya. Hanya pendaran bahagia yang ada diantara mereka.
Di lobby depan itu pula saya sering mengucapkan kata-kata janji untukmu. Melalui pesan singkat ataukah hanya mendengar suaramu sejenak. Rasanya lebih nyaman, ketimbang mengajakmu berbicara di ruanganku sendiri. Dengan tatapan heran teman kantor, karena pastilah saya mengeluarkan banyak ekspresi rupa, hanya dengan mendengar suaramu. Menghilangkan semua kerinduan. Rasanya tidak ada yang akan menghakimi perasaan di lobby depan. Karena semuanya merasakan hal yang sama.
saya selalu merasa lapang ketika berada di ruang tunggu. Entah itu di bandara, entah itu di rumah sakit, atau dimanapun. Karena saat itu ada banyak harapan bertebaran, atau banyak cemas yang terhampar. Dari raut wajah yang berlalu lalang, saya sadar bahwa semua orang memiliki emosinya masing-masing. Semantara saya lebih senang membiarkan isi kepalaku meruap keluar, sambil terus berpikir. Setelah ruang jeda ini, masih adakah ruang untuk melangkah kembali ke kenyataan?
Karena di ruang tunggu lah orang-orang menjadi diri mereka sendiri.
One thought on “Cerita dari Ruang Tunggu”
saya juga suka ruang tunggu kak….wait, apakah kita termasuk tipe orang yang (jangan-jangan) suka menunggu… 🙂