The Hunger Games; survival for the fittest.
Ketika tertular virus The Hunger Games dari Ally setahun yang lalu, saya telah menjadi massa setia Suzanne Collins. Siapa yang tidak tergila-gila pada epos kepahlawanan Katniss tentang pemberontakannya terhadap Capitol? Itu adalah gambaran besar dari trilogy Hunger Games. Sedangkan di cerita pertama, kita baru akan berkenalan dengan kengerian dan teror yang diberikan dalam arena.
Mendengar berita bahwa buku ini akan di filmkan, membuat saya menjadi takut dan sempat menyumpah. Ketakutan bahwa ceritanya akan melenceng, ataukah mereka tidak menemukan cast yang sesuai untuk Katniss, Peeta, Gale, bahkan Effie Tinket. Sebab, Suzanne Collins menceritakan detail sosok mereka dengan bagus. Bagaimana kalau sampai miss cast? Ternyata kegelisahan saya tidak beralasan. Ketika merilis gambar-gambar awal film ini, saya bisa tersenyum lega. Bahkan sosok Rue, bisa terwakilkan dengan sangat sesuai.
Nah, siapa itu Rue, Gale, Effie? Cerita Hunger Games berpusat di Capitol. Sebuah negara dengan konsep diktator yang di perintah oleh Presiden Coin. Dengan 12 distrik sebagai penghasil sumber daya, sistem yang berjalan sudah sedemikian mapan. Apakah semuanya berjalan lancar? Tidak. Pemberontakan pernah terjadi. Distrik 13 membelot dan dihancurkan dengan paksa.
Akibatnya adalah, setiap tahun kemudian diciptakan sebuah permainan ketangkasan dengan taruhan nyawa. Pesertanya tentu saja sepasang anak dari setiap distrik. Mereka akan bertarung sampai mati, dan memperbutkan juara 1. Siapa yang berhasil lolos, akan mendapatkan setiap kemudahan dengan berbagai fasilitas di distriknya.
Katniss Everdeen adalah perempuan tangguh. Semenjak kematian sang ayah, dia menjadi tulang punggung keluarga dengan melakukan perburuan di hutan. Suatu hal yang sangat diperbolehkan. Tetapi Katniss tetap melakukannya. Bersama Gale yang ditemuinya di hutan, mereka menjadi pasangan yang saling mendukung.
Cerita kemudian berbalik ketika Hunger Games ke 74 akan dilaksanakan. Katniss telah berjuang mati-matian dengan mengambil sebanyak mungkin nomor undian untuk melindungi Prim. Adik satu-satunya. Malangnya, inilah twist yang diambil. Prim terpilih dan Katniss kemudian mengajukan diri menjadi sukarelawan untuk ikut bertarung dalam Hunger Games. Pasangannya ternyata Peeta Mellark. Anak tukang roti di distrik 12.
Bersama Haymitch, sang mentor pemabuk, Effie Tinket, sang juru kampanye yang nyentrik, dan Cinna, sang penata gaya, mereka membentuk tim yang awalnya sulit ditebak. Akan dimainkan seperti apa permainan ini? Belum lagi ketika Katniss dan Peeta bertemu dengan seluruh peserta untuk pertama kalinya, mereka shock. Beberapa tributes terlatih dengan baik –yang selanjutnya disebut sebagai kawanan karier–, bahkan mereka sudah niat membunuh dan ikut Hunger Games secara sukarela.
Disinilah cerita bermula. Tidak ada kesempatan bagi mereka yang bermental lemah. Siapa memangsa siapa, siapa membunuh siapa. Hunger Games hadir dengan seluruh kekejamannya. Saya sempat khawatir bahwa aspek kekerasan dalam filmnya akan berkurang. Maklum saja, para produser tentu saja akan mengejar profit. Dan adegan kekerasan dalam bukunya bukan untuk konsumsi anak-anak. Ditebas dengan pisau? Dipanah? Itu hanya sebagian kecil siksaaan yang ada.
Masih ada konflik yang ditawarkan Suzanne Collins. Kisah segitiga antara Katniss – Peeta – Gale. Karena ternyata mereka Katniss dan Peeta harus bertaktik untuk bisa selamat di arena. Bagaimana sebenarnya latar belakang ikatan mereka. Lantas, ketika Gale melihat dalam layar besar di arena, Katniss mencium Peeta. Hati kita ikut patah bersamanya.
Secara keseluruhan saya puas dengan interpretasi yang diberikan oleh sang sutradara, Gary Ross. Arena Hunger Games bisa dibuat semirip mungkin, termasuk Cornucopia yang menjadi pusat konflik. Dimana mereka memulai, sampai adegan terakhir ketika Katniss dan Peeta dikejar mutt. Belum lagi teknologi yang dihadirkan dalam ruang kontrol yang dikomandoi oleh , sangat memanjakan imajinasi.
One thought on “The Hunger Games; survival for the fittest.”
aaaargh saya belum nonton! *close*