The Hunger Games; survival for the fittest.
Ketika tertular virus The Hunger Games dari Ally setahun yang lalu, saya telah menjadi massa setia Suzanne Collins. Siapa yang tidak tergila-gila pada epos kepahlawanan Katniss tentang pemberontakannya terhadap Capitol? Itu adalah gambaran besar dari trilogy Hunger Games. Sedangkan di cerita pertama, kita baru akan berkenalan dengan kengerian dan teror yang diberikan dalam arena.
Mendengar berita bahwa buku ini akan di filmkan, membuat saya menjadi takut dan sempat menyumpah. Ketakutan bahwa ceritanya akan melenceng, ataukah mereka tidak menemukan cast yang sesuai untuk Katniss, Peeta, Gale, bahkan Effie Tinket. Sebab, Suzanne Collins menceritakan detail sosok mereka dengan bagus. Bagaimana kalau sampai miss cast? Ternyata kegelisahan saya tidak beralasan. Ketika merilis gambar-gambar awal film ini, saya bisa tersenyum lega. Bahkan sosok Rue, bisa terwakilkan dengan sangat sesuai.
Nah, siapa itu Rue, Gale, Effie? Cerita Hunger Games berpusat di Capitol. Sebuah negara dengan konsep diktator yang di perintah oleh Presiden Coin. Dengan 12 distrik sebagai penghasil sumber daya, sistem yang berjalan sudah sedemikian mapan. Apakah semuanya berjalan lancar? Tidak. Pemberontakan pernah terjadi. Distrik 13 membelot dan dihancurkan dengan paksa.
Akibatnya adalah, setiap tahun kemudian diciptakan sebuah permainan ketangkasan dengan taruhan nyawa. Pesertanya tentu saja sepasang anak dari setiap distrik. Mereka akan bertarung sampai mati, dan memperbutkan juara 1. Siapa yang berhasil lolos, akan mendapatkan setiap kemudahan dengan berbagai fasilitas di distriknya.