Life Traveler; ketika perjalanan bukan hanya tentang tujuan.
Saya hanya bisa menarik nafas lega ketika menutup lembar teakhir buku Windy Ariestanty yang berjudul Life Traveler. Dari sekian banyak kumpulan trik dan tips mengenai bepergian, apakah ada yang menyampaikannya dengan penuh rasa seperti buku ini?
Windy mengajak kita berpetualangan menyusuri Vietnam, Praha, sampai ke O’Hare. Menggambarkan bahwa telah banyak tempat yang dia jejaki di muka bumi. Apa persamaan dari semua daerah tujuan itu adalah dia mampu menceritakan detail suasana yang ada. Bagaimana suasana pagi di Seam Reap, menikmati keheningan dari pasangan yang hanya duduk diam di taman. Kita bisa masuk kedalam atmosfer yang terbangun didalamnya.
… because travelers never think that they are foreigners
Saya mengingat perkataan Nurhady Sirimorok sewaktu menjadi mentor saya di Penelitian untuk remaja,
“lepaskan semua atribut kekotaanmu. Lepaskan semua justifikasi. Membaur dan hiduplah dalam sudut pandang orang desa”
Tujuannya apa, karena terkadang kita merasa “berbeda” ketika masuk ke tempat yang baru. Merasa asing. Bahkan terkadang merasa sok keren. Belum lagi biasanya bahasa menjadi kendala utama. Bagaimana kalo kita kemudian tersesat? Padahal sejatinya, hal ini jangan dijadikan penghalang untuk bertualang.
Windy menceritakan pengalamannya mengenai bahasa ini disetiap kesempatan. Tetapi cerita yang paling menarik justru datang dari seorang nenek yang berasa dari Rusia. Dia hanya mengandalkan bahasa Rusia dan bahasa tubuh untuk berkomunikasi. Jadinya apa? Dia mampu bertualang mengelilingi indochina seorang diri. Bergabung dengan kerumunan orang Australia, Perancis, Indonesia, dan masih banyak lagi.
Ketika pertanyaan tentang perjalanan diajukan, mampukah kita menjawabnya? Apa yang sebenarnya kita cari dari setiap perjalanan? Windy mengajak kita berkontemplasi bersamanya. Entah itu mengenai keheningan tempat, mengenai perasaan, mengenai waktu yang terkadang memburu, atau tentang menunggu.
Karena terkadang liburan biasanya selalu tentang itineary. Hal ini mutlak, supaya kita tidak kebingungan ketika tiba di tempat tujuan. Tapi jangan sampai terjebak pada sekian banyak tempat yang ingin didatangi, tapi justru lupa menikmati suasananya. Bagaimana nikmatnya menawar barang, menikmati setiap wajah ramah orang-orang, atau hanya sekedar menepi. Menikmati senja yang menandakan satu hari telah berakhir.
Bersama Windy, kita akan dipertemukan pada banyak momen-momen yang menjadi titik kegamangan pada beberapa orang. Sebenarnya apa defenisi rumah? Apa defenisi perasaan? Bagaimana menyibak sebuah perjalanan menjadi sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar membeli cinderamata? Mungkin ini sebabnya buku ini diberi nama Life Traveler. Lebih banyak mengajak kita berpikir tentang hidup. Disela-sela cerita Windy tentang daerah Lampu Merah di Thailand, dia menyisipkan sebuah pertanyaan,
“Bagaimana eksistensi kita sebenarnya sebagai manusia?”
Terdengar terlalu melankolis? Saya pun sebenarnya ragu untuk mendefinisikan buku masuk ke genre apa, semacam buku lintas genre yang membuat kita bisa menarik nafas bahagia, sesekali ikut dalam petualangan seru Windy and the gank—termasuk ketika harus mengejar Puppet Show di Vietnam—tapi menemukan tips untuk para traveler di setiap sudut buku ini.
Windy selalu memberikan to-do-list apa yang harus dikerjakan di daerah-daerah yang dikunjunginya. Jadi buku ini memang buku tentang travelling. Belum lagi lukisan cat air di beberapa halaman, sketsa tentang suasana tempat tersebut memberikan sensasi tersendiri. Bagaimana dengan foto? Lengkap! Beberapa foto sudah bisa mewakili apa yang ingin diceritakan pada setiap babnya.
Pada akhirnya perjalanan selalu membawa ke titik akhir. Tempat semua perasaan yang berkumpul. Tentang mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, ketika semua perjalanan akan berakhir. Are you going back or going home?
Penulis : Windy Ariestanty
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2011
One thought on “Life Traveler; ketika perjalanan bukan hanya tentang tujuan.”
terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca dan membuat reviunya. 🙂