Browsed by
Category: Ordinary Day

Catatan dari Nobel Week Dialogue.

Catatan dari Nobel Week Dialogue.

Usia mungkin saja menjadi salah satu rahasia semesta yang paling dalam. Seberapa panjang umur seseorang, sesuai dengan angka yang telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Terlepas dari faktor penentu tersebut, tenyata manusia juga ikut menentukan, seberapa lama dia bisa bertahan hidup.

Nobel Dialogue Week!
Nobel Dialogue Week!

Selasa, 9 Desember 2014 menjadi salah satu tanggal yang tidak bisa saya lupakan. Ketika berada dalam satu ruangan dengan beberapa pemenang nobel, menyaksikan mereka menjadi panelis dan berdebat mengenai batas usia yang terus bertambah bagi manusia untuk menjalani hidup.

Topik yang lumayan berat di tengah terpaan angin Desember di Stockholm.

Ada banyak paparan menarik dari sekian banyak panelis. Saya tidak bisa merangkum semuanya dalam satu tulisan, atau mengingat semua materi yang dipaparkan. Fakta yang menarik adalah bagaimana angka ”orang tua”—saya tidak bisa menemukan padanan kata ”elderly”—ditengah populasi bumi yang juga ikut menua, terus menciptakan polemik tersendiri. Di beberapa negara kebijakan usia produktif dan tekanan ekonomi membuat orang memilih untuk menunda mempunyai anak. Apa yang akan terjadi ketika bumi kemudian dipenuhi dengan para sepuh? Dimana mereka membutuhkan teknologi untuk menyokong mereka beraktifitas?

Read More Read More

Dari kandang paksa ke kancah nasional.

Dari kandang paksa ke kancah nasional.

Menulis membantu saya mengingat detail kejadian. Sedang dimana dan bersama siapa. Entah salah apa ikan mas koki sehingga disamakan dengan mereka yang sumbu ingatannya selalu pendek. Tapi terkadang isi kepala yang begitu random dan kompleks membuat semua hal harus dikeluarkan segera.

mereka yang menjadi keluarga :')
mereka yang menjadi keluarga :’)

Kalau tidak, ya gila.

Saya sudah lupa kapan pertama kali saya berinteraksi dengan komunitas Anging Mammiri. Rasanya sewaktu kafe baca Biblioholic berada di rumah besar. Beberapa kali meeting AM dilaksanakan disana, dan saya masih sok cool. Dengan pura-pura jual mahal tapi penasaran juga. Siapa sih mereka ini?

Read More Read More

29.

29.

“Apakah kamu lebih bahagia di masa ini atau di masa lalu?”

Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari Hanna, ditengah perbincangan random tentang letak geografis negara-negara Eropa Timur, dominasi penguin kaisar yang bisa mengancam peradaban manusia, sampai ekosistem hutan di Swedia.

Saya dan David seketika memilih jawaban kami masing-masing. Tentu saja dengan perspektif dan pengalaman masing-masing. Ketika saya dan Hanna serempak menjawab kami lebih bahagia saat ini, David justru mengatakan dia lebih bahagia ketika berumur 16 tahun.

Alasannya? Dia bisa mabuk sampai puas dan tidak memikirkan apa-apa.

Oh my.

Saat ini dia lebih insecure memikirkan akan bekerja apa setelah kuliah, memikirkan tentang komitmen hidup dan semacamnya. Ah, masa muda yang menegangkan. Sedangkan saya? Tentu saja insecure itu sudah lama saya jalani. Bertahun proses yang telah terlalui menjadi sebuah fase tersendiri.

[soundcloud url=”https://api.soundcloud.com/tracks/32908716″ params=”color=ff5500&auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false” width=”100%” height=”166″ iframe=”true” /]

Now I’m just chasing time,
With a thousand dreams I’m holding heavy,
And as we cross the line these fading beats have all been severed.

Saya insecure? Haha! Ketika berada di rentang usia David, mungkin saya juga memiliki perasaan yang sama. Kekhawatiran mengenai apa yang akan ditawarkan oleh dunia kerja.

Saya kemudian menyimak penjelasan Hanna, bahwa saat ini dia lebih mudah untuk mengendalikan emosinya. Mengetahui apa yang bisa membantunya untuk bahagia, apa yang harus dihindari untuk tidak membuatnya merasa tidak nyaman. Sambil memperhatikan gestur tangan dan tatapan matanya, saya berusaha menebak apa yang telah dilalui sampai dia bisa berada di tahap ini?

Saya sendiri, apa yang telah saya jalani? Banyak.

Sebagian hal telah diceritakan di blog ini, sedangkan sebagian lagi masih berupa tarian liar dan ingatan yang terus membekas di ingatan. Seketika potongan percakapan malam itu terulang kembali di dalam ingatan setelah saya menyaksikan film The Girl Who Leapt Through Time. Tokoh utama anime tersebut bernama Makoto, yang secara tidak sengaja mampu kembali ke beberapa jam yang lalu bahkan ke beberapa hari yang lalu. Ketika ada peristiwa yang menurutnya tidak menyenangkan, maka dia akan kembali ke jam semula untuk menghindari hal tersebut.

Sampai ketika dia menyadari bahwa konsekuensi lompatan waktu tersebut tentu saja akan berdampak pada banyak fragmen cerita yang kemudian berjalan berbeda. Kenapa saya tiba-tiba mengingat percakapan random seminggu lalu setelah menyaksikan film ini?

Karena ada pertanyaan Hanna yang sangat menohok dan sesuai apa yang dialami Makoto.

“Seandainya bisa kembali ke masa lalu, apakah kamu akan mengambil kesempatan itu?”

Pertanyaan filosofis yang sederhana tapi berarti banyak. David dengan mudah berkata iya, bahwa dia akan kembali ke usia 16. Dimana dia akan menikmati masa muda dan bersenang-senang sepuasanya. Hanna sudah menjelaskan jawabannya secara implisit bahwa dia tidak akan melihat lagi semua cerita masa lalu dan hanya akan melihat kedepan. Sedangkan saya? Tentu saja saya pernah bercerita mengenai beberapa titik persimpangan yang harus membuat saya memilih. Apa yang terjadi ketika saya mengambil opsi B? Apa yang akan terjadi ketika saya memilih masuk jurusan elektro daripada komunikasi?

Saya hanya bersyukur bisa merasakan pertambahan usia di negeri orang. Jauh dari teman, jauh dari zona nyaman. Semua pertanyaan pengandaian itu sudah saya kubur dalam-dalam. Bagaimana saya bisa bertemu kalian jikalau saya menempuh jalan lain?

Yang pasti saya bahagia di titik ini dengan semua pilihan yang saya ambil.

Selamat datang, 29 😀

Mari berkenalan melalui makanan.

Mari berkenalan melalui makanan.

Banyak cara untuk berkenalan dan masuk ke dalam budaya seseorang. Salah satunya adalah makanan. Siapa yang bisa menolak pesona semangkuk sup ayam atau perkedel jagung?

bubur ayam dan terlur dadar jamur :9
bubur ayam dan terlur dadar jamur :9

Sejak dulu lidah saya sudah terbiasa dengan aneka bumbu dasar masakan Indonesia. Ketika penyakit asma ibu kambuh, salah seorang dari kami harus mengambil alih tugas domestik untuk memasak. Berhubung kakakku lebih sering menjadikan kami kelinci percobaannya, maka jadilah tugas memasak saya ambil alih. Berbekal instruksi dan petunjuk ibu tentu saja.

Kenapa harus ribet memasak sih? Bukannya kegiatan kampus juga sudah sangat menyita waktu?

Apalagi masakan Indonesia itu, membutuhkan 3 jam untuk sekali masak. Dari mempersiapkan bahan mentah, mengolah sampai meyajikannya. Belum lagi membereskan cucian piringnya. Habis itu? Capek. =)), tapi memang dasarnya lidah sudah terbiasa. Makan roti atau pasta selama 2 hari sudah pasti bosan, jendral!

Satu cerita menarik ketika saya masih di rumah Linus, rumah orang Swedia pertama kali saya tinggali.

Read More Read More