Mari berkenalan melalui makanan.
Banyak cara untuk berkenalan dan masuk ke dalam budaya seseorang. Salah satunya adalah makanan. Siapa yang bisa menolak pesona semangkuk sup ayam atau perkedel jagung?
Sejak dulu lidah saya sudah terbiasa dengan aneka bumbu dasar masakan Indonesia. Ketika penyakit asma ibu kambuh, salah seorang dari kami harus mengambil alih tugas domestik untuk memasak. Berhubung kakakku lebih sering menjadikan kami kelinci percobaannya, maka jadilah tugas memasak saya ambil alih. Berbekal instruksi dan petunjuk ibu tentu saja.
Kenapa harus ribet memasak sih? Bukannya kegiatan kampus juga sudah sangat menyita waktu?
Apalagi masakan Indonesia itu, membutuhkan 3 jam untuk sekali masak. Dari mempersiapkan bahan mentah, mengolah sampai meyajikannya. Belum lagi membereskan cucian piringnya. Habis itu? Capek. =)), tapi memang dasarnya lidah sudah terbiasa. Makan roti atau pasta selama 2 hari sudah pasti bosan, jendral!
Satu cerita menarik ketika saya masih di rumah Linus, rumah orang Swedia pertama kali saya tinggali. Kami biasanya bertemu saat sarapan atau makan malam. Bersama Ida—sang tunangan—mereka meramu atau mendiskusikan akan memasak apa. Mulai dari berbagai jenis roti, olahan pasta, atapun makanan khas lainnya. Belum lagi kalau mereka beradegan mesra. Ugh.
*bunyi panci jatuh*
Ternyata bagi beberapa orang Swedia, batas dapur adalah teritori yang sangat personal. Bagimu makananmu dan bagiku makananku. Begitulah kira-kira. Walaupun kami berbagi penggunaan dapur, tidak aka nada basa-basi untuk menanyakan apa yang saya masak. Apalagi menawari saya makanan mereka.
Pertama kali sarapan bersama, saya merasa biasa saja. Saya pikir bahwa saya tetap orang asing yang menyewa kamar di rumah tersebut. Tapi setelah seminggu, walaupun kami ngobrol dan berinteraksi setiap harinya, tetap saja hal tersebut tidak berubah. Mereka tetap saja makan, didepan saya, tanpa menawari sedikitpun.
Ya, menurut kamu?
Saya pun bertanya kepada seorang teman sekelas yang memang berkebangsaan Swedia, apakah itu hal yang biasa. Menurut saya kadar interaksi kami sudah termasuk dekat. Tapi masalah makanan tetap menjadi hal yang tidak dekat. Bagi orang Indonesia, orang asing yang kebetulan bertamu pas jam makan saja akan turut dipanggil makan, apalagi yang memang duduk semeja?
=))
Tapi begitulah kata Maddy. Dapur merupakan teritori yang sangat personal. Padahal terkadang saya begitu penasaran mencicipi makanan mereka. Bumbunya itu loh! Terkadang tidak tahan untuk mau meminta, tapi sekali lagi saya tidak tahu budaya mereka seperti apa. Jangan sampai terkesan tidak sopan dan akan membuat interaksi menjadi lebih aneh.
Saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Di rumah Arne—rumah permanen—saya membuat stok bumbu sebisa mungkin. Saya juga mengatakan bahwa saya akan memasak setiap hari.
Ya kalau tidak malas sih.
Setelah 2 minggu, dan saling memasak masakan masing-masing, saya akhirnya berani bertanya dia sedang memasak apa. Memakai bumbu apa. Bisa beli dimana. Untungnya dia juga baik hati, mengajarkan saya banyak hal, sampai cara membuat baked potato dan menggunakan microwave. =)). Makanan selalu menjadi hal sederhana untuk masuk dan mengerti budaya seseorang. Untungnya dia tidak makan bacon dan teman-temannya. \o/
Hari minggu yang lalu saya akhirnya masak bubur ayam untuk pertama kali. Suhu di luar berkisar 5 derajat, dan saya sudah hampir membeku di dalam kamar. Bubur ayam menjadi jawabannya! Sementara saya memasak, bau bumbu merica dan bawang putih sudah menguar di dalam rumah. Bolak-balik di dapur, Arne bertanya,
“What do you cook? Smell so good”
Well, untungnya porsi yang saya buat lumayan banyak. Jadilah setelah masak, saya akhirnya memberanikan diri untuk menawarinya mencoba bubur ayam plus telur dadar jamur.
Dia menyukainya!
Sambil makan dia kemudian bercerita tentang masa lalunya, termasuk kisah asmara bersama seorang gadis Thailand. Jadilah bumbu Asia tidak terlalu asing di lidahnya. Saya menawarinya untuk tambah, tapi dia berkata sudah kenyang.
Hahaha!
Kemarin, setelah hari yang melelahkan, pulang kuliah jam 6 sore dan kelaparan (plus belum masak), saya terkejut ketika masuk ke dapur. Dia membuat beef lasagna dan memisahkan untuk saya. Hoaah!
“Makan saja semampu kamu”
Beef lasagnanya enak! Dimakan bersama keripik ubi dan irisan tomat (ini memang kombinasi aneh), tapi perlahan kami memasuki satu fase baru. Makanan bukan lagi hal akan diperdebatkan. Ketika dia masak dan saya ingin mencicipinya, saya akan mencoba tentu saja. Ataupun ketika saya masak, akan membuat porsi yang lebih. Rasanya lebih menyenangkan ketika memasak untuk orang lain. Ada percakapan yang berlangsung, dan sangat menyenangkan mendengar ceritanya semasa muda.
Seperti hari ini. Saya menyuguhinya dengan Sup Ayam dan Perkedel Jagung.
Bulan depan? Sayur Asem!