Menuju barat, menuju pusat keramaian Eropa (2)
Setelah berlari kurang lebih satu kilometer, saya hanya tertegun melihat metro menuju stasiun sentral baru saja berlalu. Aaak! Metro selanjutnya adalah 4.05 dimana waktu perjalanan ke stasiun adalah 20 menit dan saya hanya mempunyai waktu 5 menit untuk berlari ke terminal bus. Begitulah ritme hidup di Stockholm. Karena semua transportasi umum sudah mempunyai jadwal yang jelas, kita bisa memperkirakan rute perjalanan dan waktu tempuh yang ideal.
Akhirnya dengan muka memelas saya meminta tolong kepada mbak penjaga loket untuk menelpon operator taksi untuk mengetahui kepiluan berikutnya. Harga argo ke stasiun sentral setara 3 kali lipat tiket pesawat ke Paris (backsound petir menggelegar). Saya memutuskan untuk berjudi dengan nasib. Kalau saya memang ditakdirkan untuk pergi, saya akan pergi. Apapun yang terjadi semesta akan mendukung.
4.05, metro datang dan dipenuhi oleh orang-orang yang pulang dugem. Tipikal akhir pekan masyarakat kekinian. Mereka tampak mabuk, sementara saya tampak siaga melihat waktu berpindah menit dan metro berpindah stasiun. Itu adalah 20 menit terlama dalam hidupku. Sesampai di stasiun sentral, saya berlari ke selasar dan tangga untuk berpindah ke terminal bus dan mendapati gedung penghubung sedang ditutup karena cleaning service sedang bekerja.
Aaaaak! Ini konspirasi macam apa! Saya berusaha memelas sambil memasang kode-kode ala tarzan bahwa bus saya akan berangkat dalam 3 menit. Tapi petugas cleaning service juga membalas dengan kode yang tidak kalah memilukan. Saya berbalik menuju pintu utama, berlari lagi, untuk mendapati kenyataan bahwa pintu utama baru dibuka pukul 5 pagi.
Saya cuma tertawa lucu, entah kapan seluruh insting saya tajam dan bekerja secepat itu. Menyerah bukan jalan keluarnya. Saya berpikir bahwa ada jalan masuk lain ke terminal karena busnya sudah beroperasi jam 3 pagi. Akhirnya saya mendapat petunjuk dari supir taksi yang mangkal di depan central dimana tangga penghubung menuju terminal bus. Saya berlari lagi dan mendapati jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4.34 sementara waktu keberangkatan bus 4.30.
Rasanya pedih, marah, dongkol, capek dan panik dalam waktu yang bersamaan. Sungguh kombinasi aneh. Apalagi mengingat saya baru terbangun satu jam sebelumnya. Berbagai opsi sudah berkeliaran di kepala, temasuk mencari jadwal penerbangan selanjutnya. Apapun yang terjadi saya harus tetap berangkat ke Paris karena semua akomodasi dan itineary sudah disusun dengan baik. Sebelum mencari tempat duduk untuk beristirahat, saya cuma iseng bertanya kepada customer service yang bertugas,
”Mbak, bus terakhir ke Skavsta sudah berangkat?” – sebuah pertanyaan bodoh untuk melenakan diri sendiri.
Petugas tersebut hanya menyuruh saya untuk keluar bertanya pada rekannya yang bertugas di luar terminal. Dengan langkah gontai saya keluar, dan langsung disambut dengan pertanyaan,
”Kamu ke Skavsta? Ayo naik, busnya segera berangkat”
Hahahahahahahahahahahahahahahahahaha, bus itu masih parkir dengan gagahnya disana. Tidak ada pemeriksaan tiket, tidak ada ba-bi-bu, semenit setelah saya naik bus tersebut berangkat. Saya hanya bisa tertawa seperti orang gila sementara semua penumpang kembali terlelap dalam tidurnya.
Ketika itulah saya menyadari bahwa semesta mendukung sepenuhnya perjalanan kali ini. Telah disiapkannya orang-orang baru untuk bertukar cerita, melihat berbagai hal dengan sudut pandang berbeda. Semburat pagi yang menyambut di bandara tidak pernah terlihat begitu menyegarkan. Petualangan baru siap menyambut kedatangan saya di kota pertama. Sebuah pencarian akan makna cinta. Halo, Paris!
One thought on “Menuju barat, menuju pusat keramaian Eropa (2)”
Hahahahahahahahah….
Saya percaya, bahwa tertawa itu semacam penyakit. Menular..!
Saya juga percaya kepada Semesta yang selalu melakukan konspirasi aneh yang kadang membuat tengkuk menegang, lemas, tegang, lemas. Hahaha…
Paman beruanggg…
Salam sama dedaunan Mapleeee :’)