Menuju barat, menuju pusat keramaian Eropa (1)
Saya selalu kagum dengan mereka yang melakukan perjalanan sendirian. Seperti petualangan Agustinus Wibowo dalam menjelajahi berbagai sudut terpencil bumi, atau mereka yang mengatakan ingin mencari sesuatu dalam setiap hakikat berjalan. Dengan modal nekat dan percaya diri yang dipaksakan, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan solo travelling di beberapa kota selama seminggu lebih. Hasilnya? Saya menemukan beberapa simpul pengingat untuk hal-hal penting yang saya cari.
Euforia trip 5 kota ini sudah terasa sepekan sebelumnya. Kuliah sudah tidak fokus, kegiatan harian hanya diisi dengan mencari informasi ”what to do” atau ”what to eat” di kota-kota tujuan. Kemana kaki ini akan melangkah? Rencana awalnya adalah berjumpa dengan beberapa teman seperjuangan di Amsterdam. Karena kelas juga sedang libur paskah, maka saya memutuskan untuk berjalan sebelum waktu pertemuan kami. Saya memutuskan Paris menjadi titik awal, kemudian menuju Brussel, Cologne, dan Amsterdam.
Banyak cerita yang seolah berteriak ingin dikeluarkan dari dalam kepala. Saya mencoba mengingatnya sedikit demi sedikit. Beberapa memori begitu melekat dengan kuat, tentang pencarian saya sendiri. Seorang teman bertanya untuk apa saya berjalan begitu jauh ketika saya sendiri tidak bisa merumuskan pertanyaan untuk semua jawaban yang saya cari. Saya hanya bisa menjawab bahwa sebenarnya saya sudah tahu semua jawaban-jawaban tersebut, saya hanya mencari pembenaran dan logika yang pas untuk menerima semuanya dan melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.
Tapi sebelum mencapai semua simpul-simpul yang menunggu tersebut, saya harus berdrama terlebih dahulu. Apalah artinya trip tanpa drama ketinggalan kereta atau salah jadwal pesawat? Aktor utama kali ini adalah Daylight Saving Time! Memasuki musim panas atau musim dingin, ada hari tertentu dimana waktu menjadi satu jam lebih cepat atau lebih lambat. Penjelasan ilmiahnya silahkan bertanya pada nona wikipedia. Tapi DST ini sungguhlah membuat hati kebat-kebit tidak menentu.
Jadwal pesawat pukul 7.20 pagi berarti saya harus menyiapkan waktu minimal 4 jam sebelum keberangkatan. Mengingat letak bandara berada di lingkar luar Stockholm, bus penghubung dari stasiun sentral adalah pukul 3.00, 4.00 dan 4.30. Saya memutuskan untuk setidaknya mengambil bus pukul 4.00 dan berharap bisa melanjutkan tidur di bandara. Alarm sudah disetel pukul 2.30, sekiranya harus mengumpulkan nyawa sebelum ke bandara. Saya juga harus memperhitungkan jadwal metro dari rumah ke stasiun sentral. Berbekal jadwal dari internet, saya harus meninggalkan rumah pukul 3.02 untuk mencegat metro dan melanjutkan perjalanan dengan bus.
Apa yang terjadi? Alarm handphone bergerak menyesuaikan jadwal DST. Walaupun tetap berbunyi pada pukul 2.30 tapi di kenyataan waktu bergerak maju menjadi pukul 3.30. Whoaaa! Panik dan siaga satu langsung menyerang, apa yang terjadi kalau saya melewatkan bus terakhir ke bandara? Apa saya harus membatalkan trip ini? Padahal beberapa penginapan sudah saya bayar di beberapa kota, termasuk bus yang akan dipakai untuk berpindah tempat.
Untunglah semua perlengkapan sudah berjajar rapi di samping tempat tidur. Padahal biasanya saya termasuk orang yang berkemas pada waktu-waktu terakhir. Tapi sebelum tidur saya sudah memasukkan semua perlengkapan termasuk tiket, paspor dan semua dokumen pelengkap lainnya. Tidak perlu menunggu mandi, saya langsung bergegas berlari ke stasiun metro. Pukul 3.40 subuh, belum bangun 100 persen sambil menenteng carrier seberat 8 kilogram di punggung. Kurang macho apa lagi? Tapi ternyata drama mengejar bus ke bandara belum berhenti sampai disitu. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
3 thoughts on “Menuju barat, menuju pusat keramaian Eropa (1)”
Huahahahaha.. Deramah oh deramah :)))
deramah itu sudah fitur….hahaha
Hedooppp Deramah… :)))