Gili Story #2 : bagaimana memilih travel buddy.
Sepertinya saya ditakdirkan untuk memilih teman bertualang secara random. Tidak pernah begitu pas, tetapi tidak juga begitu chaos. Semuanya beragam, tetapi pelan-pelan saya mencatat bahwa drama bisa saja terjadi dalam setiap perjalanan. Semua orang pernah melakukan trip rombongan pasti pernah merasakannya. Karena biasanya, dalam setiap perjalanan barulah sifat asli seseorang bisa muncul dengan sendirinya.
Masalah paling sering muncul adalah standar kenyamanan. Inilah patokan yang menjadi tolak ukur bersama yang terkadang susah disamakan. Tapi bisa apa lagi?
Standar kenyamanan inilah yang biasanya menjadi masalah terbesar. Ketika banyak kepala yang berpikir, bisa jadi banyak standar yang tercipta. Apalagi kalau sudah ada yang meneriakkan statement “terserah”, biasanya justru merekalah biang chaos. Karena tidak bisa menentukan apa keinginan mereka.
Saya sendiri sudah melakukan perjalanan dengan beragam tipe teman. Dari teman komunitas, yang dimana bobot, bibit, dan boroknya sudah ketahuan semua, tetap saja masih tercipta drama. Dengan teman-teman @paccarita, yang biasanya menjadi bahan percekcokan adalah masalah ritme =)), saya yang mau bergerak mulai dari pagi-pagi buta, sementara kebanyakan justru bisa bergerak di atas jam 9 pagi. Jaka sembung bawa golok? Iya banget.
Pun ketika liburan terakhir di Gili Trawangan bersama geng jomblo hore di kantor, akhirnya saya tetap harus menahan diri. Menyamakan ritme mereka. Well, bukan salah mereka juga sih sebenarnya. Ketika saya mau berleyeh-leyeh duduk membaca, mereka mau menjelajah pulau. Ketika saya mau nongkrong di pub sampai tengah malam, mereka memilih tidur. Hahaha, betul-betul ritme yang bertabrakan. Jadinya ada beberapa momen yang sebenarnya kami harus terpisah, karena prinsip “liburan sama-sama” mereka justru tidak mau berpisah.
Dari beberapa tipologi aura liburan, akhirnya saya bisa menyimpulkan beberapa alternatif alasan untuk memilih travel buddy dengan baik dan benar. Diantaranya :
1. Selera. Pastikan lebih dari 70 persen memiliki minat yang sama. Entah itu bacaan, musik, atau bahan flirtingan. Supaya nanti tidak mati gaya.
2. Ritme. Pelajari ritme diri sendiri, apakah lebih nyaman beraktivitas di pagi, siang, atau malam hari. Apakah lebih senang membaca sendiri atau duduk nongkrong beramai-ramai. Apakah lebih senang ke pantai atau ke gunung yang penuh misteri.
3. Itinerary. Inilah simpul yang paling penting. Konsensus yang harus diikuti bersama. Persoalan dari beberapa trip terdahulu adalah, belum adanya itinerary yang jelas mengenai objek wisata yang akan didatangi. Biasanya bermodalkan let it go, let it flow. Malah ini jatuhnya bisa berpotensi chaos. Usahakan juga untuk berkomitmen untuk mematuhi itinerary tanpa no hurt feeling. Maksudnya, ketika semua orang membutuhkan saat bersama-sama, maka hormati juga ketika orang ingin memiliki free time. Tidak semua minat kita harus sama dalam liburan kan?
Bisa saja akhirnya kita menjadi pemilih dan menjadi terlalu serius dalam memilih travel buddy. Tapi menurut saya ini tetap menjadi hal yang penting. Tentang bagaimana memaknai perjalanan, membicarakan hal-hal yang terjadi selama perjalanan, tanpa harus bersusah hati untuk menahan perasaan dan perasaan tidak karena alasan pertemanan. Adios!
4 thoughts on “Gili Story #2 : bagaimana memilih travel buddy.”
ah iya, prinsip let it go let it flow itu emang potensi dramanya besar banget. fiuh
sekali-kali aku diajak juga dong kak..:(
Gw menemukan travelmate di perjalanan juga, sekarang jadi sahabat dan malah kayak sodara.
Ngak perna main ama temen kantor, bakalan rese hahaha
dan saya menemukan foto saya di sini.. *peluk