Ramadhan Tahun Ini.
Selalu ada kejutan menarik yang disediakan Ramadhan untuk saya. Sesuatu yang khas. Seperti bau udara ketika subuh, atau bau tanah sestelah hujan. Memori kolektif yang memacu berbagai kenangan tersendiri. Ramadhan selalu memberikan pelajaran. Kali ini saya belajar bersamanya.
Entah karena menghabiskan hari pertama puasa diatas Commuter Line dari Kalibata ke Gambir, membuat saya berpikir bagaimana rasanya Ramadhan jauh dari rumah, jauh dari orang tua. Padahal tahun lalu saya menikmati banyak sesi bepergian (dalam rangka tugas) ke banyak tempat, tapi kali ini berbeda. Saya tidak menikmatinya.
Manifestasi perasaan tersebut memuncak pada hari-hari awal puasa. Saya tidak kemana-mana. Saya lebih nyaman buka puasa di rumah, ngobrol sama ibu dan bapak. Padahal waktu-waktu sebelumnya bisa dikatakan jumlah hari saya buka puasa dirumah. Pasti kebanyakan kumpul sama teman inilah, sama geng itulah.
Ada ritme ketenangan melakukan ibadah ketika di rumah. Menikmati alur waktu yang berjalan. Saya ingat tahun lalu saya memaksa diri dan merasa terpaksa melawatkan hari. Saya membeli banyak buku dan membacanya terus dan terus. Saya tinggal di kantor, browsing sana sini, sampai dirasa waktu cukup untuk sampai rumah dan berbuka puasa.
Saya bersyukur tahun ini berbeda.
Saya menikmati sore ketika anak-anak ramai bermain di halaman rumah.
Saya menikmati sore dengan bersepeda keliling kota.
Saya menikmati sore dengan membuat rak buku dan rencana merombak kamar.
Saya menikmati sore dengan membaca Al Quran.
Sampai di titik saya berkata,
“Allah sangat sayang kepada saya”
Ramadhan hadir dengan riuh dan semangat pelajaran. 3 tahun yang lalu, tulang belikat saya patah. Ramadhan menyembuhkannya. Diberinya saya hati yang lapang untuk melewati hari demi hari. Saya merindukan saat seperti itu. Ketika kita menikmati entitas kita sebagai manusia, individu yang bisa berpikir akan seperti apa hidup ini berjalan? Maklum saja, 2 tahun terakhir membuat semuanya berjalan cepat. Sangat cepat malahan. Tidak banyak pertanyaan-pertanyaan hidup yang terjawab. Semuanya terbawa dengan semangat duniawi yang melekatkan diri pada beberapa hal yang tidak esensial. Padahal Tuhan adalah tempat kita semua pulang kelak.
Kadar keimanan manusia naik turun. Tergantung kepada kita bagaimana melalui hari. Saya sering berkata, bahwa memang kemapanan dan kesenangan adalah ujian saya yang terberat. Saya sering merasa kalah terhadap diri sendiri dan keinginan duniawi. Ramadhan membantu saya membentuk diri, melawan fase-fase penolakan dalam mengingat Tuhan. Beberapa Shalat terkadang bolong, beberapa telat waktu. Tapi saya berusaha memperbaikinya setiap hari.
Tulisan ini hanyalah pengingat bagi diri sendiri. Ketika lupa dan tinggi hati datang menyerang, cobalah ingat bagaimana rasa damai ketika lidah melantunkan ayat suci Al Quran. Bagaimana nikmatnya bersujud di malam hari. Bagaimana nikmatnya mengendalikan hawa nafsu dan menjadikan diri sendiri sebagai manusia yang utuh. Allah memang baik, dan Ramadhan kali ini terasa lebih berarti.