Mensyukuri Hidup
Welcome July! Please be kind to me please.
Setidaknya itu beberapa status yang berjalan di timeline sepanjang hari minggu kemarin. Sebenarnya siapa yang harus berlaku baik? Kita terhadap hidup, atau hidup terhadap kita?
Dalam satu sesi pembicaraan bersama Nuri, akhirnya perasaan saya bisa sedikit lebih plong. Uneg-uneg yang terus tersimpan selama 2 minggu terakhir bisa keluar dengan lebih enteng, dan saya bisa lebih fokus melihat prioritas dan masalah yang terjadi. Bukannya apa, 2 minggu terakhir saya sangat membenci diri saya sendiri.
Menjadi malas.
Tidak olahraga.
Tidak ikhlas.
Terkadang Tuhan memang tahu bagaimana Dia menguji hamba-Nya. Bahwa memang kesenangan adalah ujian saya yang terbesar. Bagaimana posisi dalam comfort zone bisa sedemikian melenakan, sehingga malas melihat urgensi ha;-hal yang harusnya menjadi prioritas. Sampai kemudian saya bertemu dengan seorang anak.
Usianya mungkin sepantaran Fithrah, adik saya yang paling bungsu. Dengan rambut kemerahan, pertanda kering oleh matahari, sesekali matanya tercuri pandang. Maklum saja, saya selalu mengamatinya. Diantara jari yang seharusnya lebih fasih memegang pensil dan lembaran buku, dia sudah berjibaku dengan panas dari minyak yang meletup. Sesekali dia membalik mpek-mpek dan memeriksa kadar kematangannya. Pun jemarinya lincah membungkus saus mpek-mpek dan berbagai suguhannya. Sampai akhirnya dia mengulurkan pesanan mpek-mpek tersebut kepada saya, dan berkata,
“terima kasih”
Dan saya masih mengeluh tentang hidup?
Dalam perjalanan bersama Nuri menghabiskan minggu sore, kami banyak berbincang. Selayaknya 2 orang teman yang telah ditempa 12 tahun pertemanan, ada nada yang familiar. Cerita yang tidak pernah terputus tentang hidup, tentang kami.
Dia baru saja melaksanakan ibadah umrah. Dengan raut bahagia dia menceritakan kisah emosional dan perjuangannya dalam mengarungi Baitullah. Pun sesekali pekikan kami terdengar, ketika tawa irasional tentang hal-hal absurd mulai terucap. Saya sadar satu hal lagi, bahwa memang manusia berubah. Dan tergantung kita bagaimana mensyukuri hidup.
Kenapa saya marah terhadap diri sendiri? Saya terlalu egois. Padahal dulu saya sendiri sudah berkomitmen, akan menyokong ekonomi keluarga. Namun ketika over budget, saya tidak menolak mengeluarkan. Cuma jengkel saja. Alokasi untuk hal lain harus ditunda. Ini yang menjadi bad habit saya. Ketika merencanakan sesuatu, seringkali saya mengharapkan harus berhasil. Karena saya telah menghitungnya dari segala sisi. Padahal belum tentu rencana tersebut berjalan lancer. Akan ada titik-titik kompromi yang dilakukan. Dan bisa saja ada rejeki lain yang memang menungu.
Malam semakin larut ketika kami masih bertukar cerita. Tentang keluarga, tentang bagaimana melihat rumah. Dia tahu, dia salah satu orang yang melihat ketika saya belum jadi siapa-siapa, dan apa yang telah terjalani selama ini. Serentak kami hanya berkata,
“Maka bersyukur memang tindakan yang paling tepat. Mengingat Allah memang tidak pernah meninggalkan kita”
Subuh yang basah, saya banyak mengadu kepadaNya. Meminta ampun untuk kealpaan, dan segala lupa yang masih sangat sering terjadi. Padahal betapa nikmatNya tidak pernah lepas setiap hari.
Apa yang bisa saya katakan kepada bulan juli? Selamat datang. Saya akan menyambut dan melanjutkan hidup dengan penuh kesyukuran. Untuk semua hal. Mempersiapkan hati menyambut Ramadhan. 🙂
2 thoughts on “Mensyukuri Hidup”
iya tapi kan bulan ini juga lo ke Komodo kaaaan?! *garuk2 tembok*
Mari bersyukur. 🙂