Makan siang hore.
Ketika makan siang bersama beberapa teman kantor, pikiran saya terganggu. Bukan karena porsinya yang sedikit (haha!), tapi karena tingkah seorang teman yang sangat norak. Menu kami siang itu memang tergolong spesifik, bebek goreng. Tapi tingkahnya seolah-olah makanan itu berasal dari surga. Bukan, saya bukannya tidak menghargai makanan. Tapi kalian tahu kan batasan ketika kita mengapresiasi rasa makanan dengan terlihat wajar?
Pengalaman saya berulang beberapa hari kemudian. Seorang teman membawakan sarapan berupa gogos dan beberapa butir telur asin. Obrolan kami semakin hangat ketika teh hangat menjadi teman bersantap. Saya berhenti di gogos pertama, faktor sudah sarapan di rumah. Teman saya ini sudah membuka gogosnya yang kelima, seraya tidak berhenti bercerita. Apalagi ketika dia berbicara tentang rasa penasarannya sehabis melihat liputan kuliner di televisi. Apa yang dia lihat? Liputan tentang Konro Bakar dan dia belum pernah mencobanya. Dang!
Apakah saya sudah terdengar sangat menghakimi? Masih ada cerita lain lagi. Kali ini tentang seorang teman yang memiliki komentar yang default ketika berbicara tentang makanan,
“Ih, aromanya enak. Beli bakso dimana?” ~ ketika kami mencicipi Bakso Kepala Sapi di dekat kantor
“Deh, gorengannya renyah sekali. Saya jarang makan seperti ini” ~ ketika kami makan secara sporadis gorengan yang belinya di pinggir jalan.
Yang menjadi persoalan saya adalah, apakah mereka tidak pernah menikmati makanan-makanan tersebut? Maklum saja, keluarga saya termasuk keluarga pecinta kuliner. Lidah saya sudah mencicipi beragam bumbu. Toh, kalaupun ada pengalaman makan sesuatu yang baru, maka saya berusaha tidak terlihat norak, walaupun deg-deg an awalnya 😛
Ibu saya pernah berkata,
“kalau memang punya duit dan mau makan sesuatu, beli saja. Toh, itu leher kamu juga. Daripada mati penasaran lihat orang makan”
Maka begitulah kami. Pola yang terbentuk sekian tahun dari ritme makanan yang ada di rumah. Kakak saya termasuk orang yang paling sering membawa banyak makanan aneh. Entah hasil ekplorasinya di dapur kala sedang praktik masak, ataukah hasil jarahannya ketika berkunjung ke teman-temannya di hotel. Saya pun sering membawa makanan, hasil dengar obrolan orang-orang,
“Eh, katanya mie di sana enak loh”
“Nasi gorengnya porsi dewa! Banyak”
Yah, statement-statement seperti itu yang mengantarkan saya kepada petualangan kuliner. Walaupun terkadang beberapa kali harus jadi #kerehore, tapi penasaran saya terpuaskan. Tidak lagi meneguk ludah ketika orang-orang bercerita tentang makanan disini atau disitu. Leher saya menjadi lebih bersahabat dan lebih behave ketika diajak makan. Atau efek paling dahsyatnya, semua bertanya kepada saya ketika mencari tempat referensi makanan.
Setiap orang mungkin berbeda mengelola keuangan. Saya bisa jadi terlihat boros di mata kawan-kawan saya itu. Terlihat dan terdengar selalu plesiran. Tapi setidaknya saya tidak terlihat norak kala mengapresiasi makanan. Buat apa naik mobil tiap hari tapi tidak pernah keliling makan? Mending cuma naik motor tapi leher sudah mencoba beragam makanan.
3 thoughts on “Makan siang hore.”
tempatku makan anu… banyak anunya :))
wakakakak, makjleb banget ini!
sama prinsipnya mamaku sama ibuta’ k, dia selalu bilang, kalo mau makan sesuatu dan ada uang, beli saja…daripada ditahan2, jangan terlalu pelit sama diri sendiri, toh uang juga tidak dibawa mati, jadi mending dinikmati 🙂