Ketika algoritma Spotify lebih mengenalmu dari dirimu sendiri. Mengejutkan?
Rasanya menakjubkan dan sekaligus menakutkan ketika beberapa hal bisa menjadi media penyimpan yang sangat baik. Sebut saja media fisik seperti keping CD atau kaset untuk diputar berulang kali. Ataukah beberapa hal yang tertaut dalam bau, suara, rasa, ataukah indra lainnya.
Beberapa penelitian telah menjabarkan bagaimana bau bisa memicu beberapa ingatan yang telah terkunci lama. Bagian otak yang bernama Thalamus kemudian memproses sensasi bau tersebut dan mengirimkan sinyal kepada otak, termasuk bagian hippocampus dan amygdala, yang mengelola seluruh emosi. Wow, terima kasih kepada artikel Curiosity yang menjelaskannya secara gamblang. Itulah sebabnya wangi hujan, aroma makanan ibu, pengharum ruangan toilet menjadi media pas untuk berbagai cerita.
Awal Desember tahun lalu saya berkunjung kembali ke asrama Pejompongan dan menginap selama 3 hari. Rasanya menakjubkan bagaimana semua ingatan 2013 kembali menyeruak hanya karena bau kamar yang apak. Ingatan mengenai perjuangan belajar bahasa Inggris sampai tengah malam, evakuasi ketika banjir tahunan melanda Jakarta, sampai desah yang hadir pada beberapa malam tertentu. Sesungguhnya saya adalah penimbun ingatan yang buruk karena dia menempel pada berbagai media sesuka hatinya. Sehingga terkadang beberapa luapan ingatan itu tidak saya harapkan sama sekali.
Salah satu media lain yang sangat mumpuni untuk menimbun ingatan adalah barisan lagu yang terus didengarkan tahun ke tahun. Ingatan mengenai siaran radio dan cerita yang menyertainya, saat-saat harus jatuh dan bangun lagi, ataupun hanya menjadi suara latar belakang kala beraktivitas. Seperti Setiap saat saya membutuhkan dan mendengarkan lagu seperti sebuah candu. Pasalnya sederhana, tidak boleh ada ingatan yang menumpuk pada sebuah lagu. Seperti track Chasing Pavements hanyalah untuk satu cerita di tahun 2009 yang terkadang detail kejadiannya sudah terlupa, tapi rasa perihnya masih tertinggal. Sungguh seorang masokis yang sangat ahli.
Ketika penyimpan data eksternal saya rusak dan harus merelakan seluruh koleksi lagu yang saya kumpulkan sejak tahun 2004, saya membiarkan perjalanan ingatan itu muncul dari mana saja. Dari lagu yang terdengar di radio mobil, lagu yang dimainkan di pusat perbelanjaan, ataupun speaker usang dari penjual di pasar. Ingatan itu berlompatan lagi dan lagi tanpa terkendali. Lantas apa hubungannya ingatan dengan layanan penyedia jasa musik online?
Spotify menjadi media saya untuk menyintas berbagai rekam jejak ingatan. Sejak tahun 2015 pun, layanan itu menyediakan rangkuman musik yang didengarkan sepanjang tahun. Maklum saja, saya senang menyimpan, menyimak dan mendengarkan banyak playlist baik yang dibuat secara generik ataupun dikurasi secara khusus oleh orang lain. Sayapun juga mengkurasi beberapa playlist, termasuk yang saya dengarkan khusus ketika menyelesaikan tesis ataupun ketika melakukan perjalanan di kereta.
Mendengarkan rangkuman kurasi musik tahun 2018 membuat saya tertegun sejenak. Benarkah tahun lalu berjalan begitu panjang dan begitu melelahkan? Hahaha. Konsistensi musik saya dideskripsikan pop dengan sedikit nafas indie dan menyempilkan beberapa track bergenre electronic. Wow. Barulah saya ingat bahwa paruh pertama 2018 memang rasanya berjalan begitu lamban sehingga saya membutuhkan track trance dan electronic untuk membuat saya bersemangat. Beberapa track favorit saya adalah lepasan dari kurasi musik Beat To Think To seperti Sam Paganini, Pep&Rash ataupun Fujiya & Miyagi. Ketika 2 tahun berturut-turut saya menanyakan eksistensi diri pada Pretty Hurtsnya Beyonce, tahun ini saya mendapatkan closure dengan Vågorna dari Sabina Ddumba.
Vågorna gungar mig mot det lugn jag vill ha
Jag tänker tillbaka, på alla stunder jag haft
Känslor och glasen jag delat med vänner
Och allt det har gjort mig till den jag är
The waves are swaying me towards the calm I want
I am thinking back, on every moment that I’ve had
The feelings and glasses I have shared with friends
And all of that have made me who I am
Banyak artikel yang mengulas mengenai Spotify Year Wrapped. Ulasan umum seperti BGR dan DigitalTrends yang mengulas secara generik atau Vox yang mengkritisi mengapa tangga lagu akhir tahun didominasi oleh penyanyi pria. Tetapi saya tidak bisa menemukan cara kerja algoritma Spotify selain ”merangkum kebiasaan mendengarkan lagumu selama setahun”. Beberapa orang mengiyakan ulasan ini, sementara beberapa lainnya mengiyakan secara khusus. Saya sendiri melihatnya sebagai kaleidoskop emosi sepanjang tahun sambil berusaha mengingat dan merefleksikan kembali,
”Wow, saya pernah seputus asa apa sampai mendengarkan Berhenti Berharapnya Sheila on 7?”
”Pada momen apa sehingga Blake Lewis dan kelly Rowland muncul kembali pada alam sadarku?”
”Aduuh, album Black Panther ini keren sekali. Satu film yang mendobrak banyak batasan di Hollywood.”
Musik bisa menjadi sebuah kaleidoskop yang menarik. Beberapa track memang mewakili fenomena yang terjadi di industi musik dan hiburan (Sufjan Stevens untuk soundtrack Call Me by Your Name), ataupun musik instrumental yang menamani malam-malam sunyi (dan sepi). Seorang teman berkomentar bahwa spektrum musikku begitu luas seperti Indonesia. Hahahaha, ya itu memang dikarenakan telingaku sudah menjadi telinga radio dan ditambah pula tahun 2018 berjalan begitu panjang dan melelahkan sehingga saya hanya ingin mengutip Ariana Grande,
”Thank you, next.”
Playlist terbaik 2018 saya bisa disimak disini,
9 thoughts on “Ketika algoritma Spotify lebih mengenalmu dari dirimu sendiri. Mengejutkan?”
Deh lagumu hahaha
Saya hanya tahu 1-2 lagu saja. Beda selera memang.
Anyway, pas saya putar lagu2 yang paling sering saya putar di 2018, kadang saya juga bertanya-tanya; kenapa sampai saya putar ini lagu dulu ya?
Kadang saya lupa mi alasannya hahaha
Terlalu banyakmi kenangan ta dan database lagunya :)))
pertama: tolong jelaskan kalimat yang dicoret itu. itu apa?
kedua: bagaimana misalnya jika kita memilih berdasarkan mood saja dan membiarkan spotify memilihkan lagu kita?
Anuh, itu aku bisa jelaskan kak!
Di Spotify Ada daily mix yang mengurasi mood lagumu secara otomatis. Ya, semengerikan itu.
Saya menikmati berbagai jenis musik dengan terpaksa, karena mengikuti selera anak-anak.
Kalau lagi top-topnya satu lagu, maka lagu itu bisa diputar oleh anak-anak berulang-ulang setiap hari. Giliran ada lagu baru yang disukai, maka pindah lagi seleranya.
Sayangnya, saya kurang cerdas mengingat judul-judul lagu itu.
Bedanya pop kontemporer dan pop terdahulu yang terasa everlasting yah kak. Sekarang karena terlalu cepat rilis malah langsung lupa siapa penyanyinya.
ahahahahahah penilaian karakter seseorang dan apa-apa yang sudah dilaluinya bisa di cek dengan liat spotify nya di? hahahahahah
kalau saya chart musikku ikut trend ja juga tp yang konsisten trend bolywood music , soundtrack film2 bollywood ahhahahahaha
Duh, jadi takut punya aplikasi ini… hahaha. Kira-Lira saya orang seperti apa yaa , hmmm meski sebenarnya tidak mampu menerima kenyataan 😀 Selera musikku selalu berubah-ubah soalnya, tergantung suasana hati.
Aku pun sukaaa Vågorna-nya Sabina Ddumba. Tapi playlist 2018-ku penuh lagu patah hati sampe ku ga berani dengerin lagi 🙈