Kepada M, cerita di penghujung minggu.
Halo M, apa kabarmu? Saya tahu kamu sangat merindukan November dan menikmati setiap harinya, seperti saya selalu bersemangat kala Oktober tiba. Adalah memiliki kehilangan itu yang biasanya bagian terberat, ketika kita terbiasa menikmati sensasi menunggu. Setelah tanggal sakral tersebut berlalu, terkadang ada perasaan gamang, dan kita hanya berkata,
“Hanya begitu saja?”
Bukan, saya tidak ingin membuatmu galau lagi. Selamat menunggu sampai hari kelahiranmu tiba tahun depan, dimana setiap angka yang bertambah kita diharapkan bisa lebih kuat, lebih tegar menghadapi hidup yang terkadang tidak adil.
Iya M, perkataan itu akhirnya saya dengar lagi. Setelah sekian lama saya berusaha berdamai dengan apa yang ditawarkan hidup, ternyata ada orang lain yang memiliki pikiran yang sama. Padahal dia baru saja menikah, tenyata drama yang dialaminya juga beragam. Kamu mengenalnya kok, 3 bulan sudah dia resmi melepaskan masa lajangnya. Apa coba kekurangan yang dia rasakan, ketika dia sudah menemukan separuh hidupnya?
Sesekali perhatianku terpecah ketika duduk di kafe bersama mereka. Teman-teman yang dulu sama-sama berjuang di bangku kuliah, siapa yang menyangka kami akan bercakap di tengah spot yang lagi happening di ibukota? Bahwa kemudian pertanyaan keadilan seperti apa lagi yang akan kau cari dari hidupmu?
Begitulah kita M, menjadi manusia yang selalu ingin membandingkan. Terkadang iri dengan keseharian seseorang, ingin berada dan berjalan di posisinya, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya mereka juga berpikiran yang sama. Tahukah apa yang menjadi ketakutanku? Menjadi manusia yang berbeda dari keseharianku.
Bukannya saya pernah menceritakan tentang konsep paradoxnya isi kepalaku? Tentang kelakuan-kelakuan ekstrem yang bisa dalam sekejap bisa saya lakukan, hanya karena euforia sesaat. Ada mimpi yang seolah menjadi delusi, menciptakan keinginan untuk bisa hidup seperti isi majalah-majalah yang sering kita lihat itu M, menjadi makhluk rupawan yang kita puja. Yang walaupun kita tahu beberapa hanya polesan dan bentukan imaji, kita tetap ingin menjadi bagiannya.
Ingatkah kamu ketika kita hanya titik-titik dibelakang layar, berjalan semaunya, tanpa pernah berharap dilihat atau terlihat siapapun. Kita bebas menjadi diri sendiri, berjalan dari rektorat ke pintu 1, menikmati danau dalam sepi, atau hanya ingin berjalan dan berjalan saja. Manusia itu memang semakin kompleks yah M, ditambah pula sifat yang lebih banyak labil dan plin-plannya, terkadang begitu sulit untuk menjejak tanah, kalau saja tidak mengingat harus menabung dan hidup seperti biasa saja.
Adil dan tidaknya hidup kita yang menentukan. Iya kan M, seperti mantra kesukaan kita, you get some, you lose some. Itulah yang membuat hidup menjadi terasa menyenangkan. Ketika kamu merasa nyaman untuk duduk dan menjadi social climber di tengah club house di tengah ibukota, yah implikasinya mesti ngirit untuk jatah yang lain. Menjadi terlalu klise rasanya menemukan dan meyakinkan diri bahwa bahagia ada di tempat seperti itu. Sesekali saya perlu mengajakmu kesana mungkin M, dan kita akan bercerita tentang hidup, ditengah dentuman suara musik. Bahwa akhirnya saya tahu, ternyata itu hanya bahagia semu, bukan tempat untuk saya.
Selamat akhir pekan M, selamat berjalan kembali.
2 thoughts on “Kepada M, cerita di penghujung minggu.”
susunan dan pilihan kata-kata pada artikel di atas mengingatkan saya pada novelis Turki, Orhan Pamuk. The Snow judul novelnya. meski agak absurd dan harus berulang kali membaca, namun saya menangkap substansi tulisan di atas, dan estetika penulisannya…
sepertinya saya harus belajar nih sama mas Iqko??
Oh ya? *segera mencari novelnya*
Sayapun masih mencari bentuk tulisan yang membuat nyaman, dan rasanya frase seperti ini bisa mewakili beberapa sisi pandangan tentang sesuatu.