[Travelogue] : (banyak) Jalan menuju Pulau Kelagian (bag. 2)
Setelah browsing sana-sini, ada beberapa opsi yang bisa digunakan untuk mencapai Pulau Kelagian yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan. Sabtu pagi perjalanan kami dimulai. Berbekal jurus sok-dekat-sok-kenal dengan seorang ibu di pool Damri akhirnya kami berhasil mengetahui rute angkot menuju Dermaga Penyeberangan. Sebenarnya untuk kenyamanan kami bisa menunggu Damri yang akan menuju area yang sama, tapi mesti menunggu waktu sejam lebih. Sementara matahari seolah tidak memberi kesempatan untuk menunggu lebih lama lagi.
Dari pool damri kami mengambil angkot warna biru jurusan terminal sawah besar. Harap diperhatikan bahwa jurusan setiap wilayah dibedakan berdasarkan warna angkot. Selalu amati apa warna dasar dan kombinasi yang ada. Terminal Sawah Besar letaknya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api, cukup turun di dekat stasiun tersebut. Entah mengapa beberapa orang yang kami mintai petunjuk tidak menyarankan untuk masuk ke dalam terminal kalau memang tidak terbiasa.
Sesampai di Terminal Sawah Besar kami kemudian nyambung lagi dengan angkot berwarna ungu terong jurusan Gudang Garam. Kenapa dinamakan demikian? Karena dulunya di daerah tersebut terdapat pabrik garam yang cukup besar dan terkenal. Tahulah kami beberapa waktu kemudian bahwa semua rute angkot di Bandar Lampung dibagi menurut area dan ini informasi dasar yang harus diketahui. Sesampai di Gudang Garam, kita harus mencari angkutan lain lagi menuju Padang Cermin menuju Dermaga Klara. Kalau ingin membawa makanan ke pulau, di tempat menunggu kendaraan terdapat warung makan sederhana. Dengan harga yang murah, kami membungkus bekal nasi dan lauk pauk. Jangan lupa pula membeli cemilan secukupnya, karena sesampai di pulau akses benar-benar akan terputus.
Kendaraan terakhir yang kami tumpangi berupa mobil pick-up yang diberi tenda untuk menghalangi sinar matahari dan kursi panjang berhadapan. Sungguh pengap rasanya karena lubang angin hanya ada beberapa. Belum lagi perjalanan mencapai 20 kilometer lebih dengan kondisi jalanan yang berlubang dimana-mana. Sang sopir? Senantiasa menghantam lubang tersebut seolah kami semua penumpang di belakang layaknya barang dagangan.
Lain padang, lain pula belalangnya. Dari beberapa tulisan rintisan mengenai bepergian dengan angkutan kota di Bandar Lampung kami mendapat banyak masukan mengenai “harga” satu kali berpergian. Tarif umum di setiap kota, layaknya adalah 3000 rupiah untuk rute jauh dekat. Ternyata trik ini harus diantisipasi dengan sedemikian rupa, karena kalau tidak kita akan kena tipu kalau bertemu dengan sopir yang tidak jujur.
Dua kali kami harus membayar lebih untuk rute awal, padahal tariff sebenarnya adalah maksimal 4000 rupiah. Saya sempat bertanya kepada seorang ibu yang memiliki tujuan yang sama—intinya adalah jangan malu bertanya!—berapa tariff normalnya. Karena uang yang saya berikan 10 ribu rupiah untuk ongkos 2 orang, sesampai di tujuan sang sopir lantas melajukan kendaraannya. Keadaan tersebut kembali berulang ketika sampai di Gudang Garam. Sang sopir meminta tariff 5000 per orang, padahal yang lain hanya membayar 3000 rupiah.
Dan tololnya saya selalu membayar dengan pecahan puluhan ribu. Jadilah saya dua kali kena tipu. Untuk rute terakhir yang lumayan jauh, untunglah kami mendapat sopir yang baik. Di Gudang Garam jangan menunggu mobil yang sedang stamplas, karena mereka biasanya sudah memasang tariff tinggi. Apalagi ketika melihat ciri-ciri wisatawan (kere) yang tidak tahu arah. Untuk sampai di Dermaga Penyebrangan kami harus membayar 7500 rupiah. Itupun kami rencana memberi lebih, karena memang rutenya yang terjauh.
Apakah perjalanan sudah akan mencapai surga? Ternyata belum! Ketika melihat Dermaga Penyeberangan menuju Pulau Kelagian kami melihat opsi kapal yang akan menyeberang sangat sedikit. Dari informasi awal, saya mendapat tawaran 1 juta rupiah untuk 2 hari. Harga tersebut sudah termasuk hopping di beberapa pulau untuk snorkeling. Trik kami untuk mencari kapal on the spot untuk mencari harga murah ternyata salah strategi juga.
Untuk menyeberang kami menawar harga yang sangat alot dengan seorang pemilik kapal. Dengan kapal tipe semi speedboat, kami harus menebus 300 ribu untuk pulang pergi. Ingin hopping keliling pulau kami harus menambah 500 ribu lagi. Kami putuskan untuk menyebrang saja terlebih dahulu. Urusan keliling pulau kecil kami akan pikirkan belakangan.
Ternyata oh ternyata kami salah memilih tempat pemberangkatan. Umumnya para wisatawan memang akan diturunkan di dermaga penyeberangan tersebut. Padahal kalau ingin menyewa kapal tradisional yang lebih murah, kami harus berjalan lebih jauh kea rah Pantai Klara. Disinilah seluruh perahu tradisional dengan tarif relatif lebih murah. Toh, pelajaran selalu didapatkan ketika membuat kesalahan. Akhirnya setelah semua drama, jam 10 pagi kami sudah menginjakkan kaki di Pulau Kelagian.