Memilah rasa dalam Kelas Memasak Lilian.
Banyak hal yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya. Tentang asal usul, cerita masa muda, harapan-harapan, ataupun tradisi keluarga dalam bentuk resep-resep andalan keluarga. Setiap rumah memiliki dapur yang berbeda. Tentunya beda pula rasa yang hadir di setiap hidangannya. Entah merayakan kelahiran, keriaan, hari raya, ataupun makanan kesukaan setiap anak.
Diantara 4 bersaudara, saya bersyukur bisa sedikit mengikuti jejak rempah dalam tangan ibu. Pernah di suatu masa beliau sering terkena asma yang membuatnya tidak mampu bangun dari tempat tidur. Kala itu juga harus ada yang mengambil alih komando dapur. Kakakku yang justru kuliah di jurusan tata boga tidak banyak membantu. Kami kemudian menjadi kelinci percobaan dari sekian banyak bumbu yang masih terasa asing. Oregano, parsley, mustard hanyalah beberapa contoh kecilnya.
Pun ketika bersekolah di Swedia, beberapa kali resep ibu menjadi obat mujarab untuk menghilangkan rasa rindu. Ratusan kilometer tidak menghalangi toppa’ lada, coto makassar ataupun tempe bacem hadir di meja makan. Disini pula saya kemudian berkenalan dengan banyak spektrum rasa baru. Sambil mencoba menyelami dan mengenal lebih jauh kebudayaan Swedia, saya dan beberapa teman banyak berbincang tentang 3 bumbu dasar masakan di sana. Garam, lada, dan butter. Hahaha.
Perasaan inilah yang saya temukan setelah membaca kembali Kelas Memasak Lilian karya Erica Bauermeister. Buku terbitan Bentang Pustaka ini mengajak kita untuk mengenal berbagai macam resep dan rasa dalam kelas memasak yang dilaksanakan setiap hari senin. Lilian sendiri adalah seorang pemilik restoran di New York. Setiap tahun dia membuka kelas memasak bagi mereka yang sedang tersesat dan membutuhkannya.
Dalam kelas terbarunya, kita akan diajak berkenalan dengan Claire, seorang ibu rumah tangga dengan segala kerepotannya, pasangan Carl dan Helen yang sedang memikirkan arah hubungan mereka, Antonia, sang gadis pecinta interior dari Italia, Tom yang pemurung, Chloe yang terlalu gugup, Isabelle dan gumpalan ingatannya, serta Ian, sang mahasiswa arsitektur. Cerita mereka kemudian terikat dalam dapur Lilian serta bergabung bersama rasa fondue, keju gorgonzola, ataupun bagaimana memaknai Thanksgiving secara berbeda.
Ketika membacanya pertama kali beberapa tahun silam, Kelas Memasak Lilian tidak menimbulkan impresi yang kuat. Mungkin karena faktor pengalamanku yang belum terlalu banyak. Sekarang saya justru kagum bagaimana dalam sebuah buku tentang memasak kemudian terdapat banyak kutipan yang sangat bagus? Seperti yang terdapat pada cerita Isabelle,
”Namun, dia (Isabelle) tahu kalau ingatan diciptakan, baik seseorang merenungkannya atau tidak. Dia selalu menganggap salah satu keuntungan menjadi tua adalah peluang untuk mengembara di seluruh kebun yang telah tumbuh saat dia tidak melihatnya. Dia duduk di sebuah bangku dan membiarkan pikirannya mengembara, merawat setiap kejadian yang tidak dia perhatikan, dan menghargai hubungan satu ingatan dengan ingatan yang lain.” (halaman 163)
”Aku selalu bertanya-tanya,” komentar Isabelle sambil termenung setelah menyantap pencuci mulut, ”apakah bodoh membuat kenangan-kenangan baru padahal kau tahu kalau kau akan kehilangan kenangan-kenangan itu?” (halaman 178)
Terlalu sentimental? Bisa jadi. Erica pandai membuat kita mengingat kembali telaahan rasa dari setiap makanan. Bagaimana seseorang harus meluangkan waktu menikmati setiap esensi masakan. Rasa apa yang kemudian muncul? Seperti sapuan kebahagiaan cokelat hangat di musim dingin, ataupun getirnya kopi yang menjadi doping ketika mengerjakan tesis di Stockholm. Semua rasa kemudian muncul dari barisan peristiwa setiap tokoh utama yang kemudian saling terikat satu sama lain.
Pilihan kata Erica sangat deskriptif, memberikan kita gambaran bagaimana keadaan di dapurnya. Bagaimana mungkin membayangkan sebuah aroma dalam deksripsi tulisan? Caranya bercerita sudah tampak di halaman awal,
”…sementara udara dingin air hujan berembus di belakangnya, dan membiarkan bau-bau menghampirinya—ragi roti siap pakai, kopi bubuk manis, dan bawang putih, yang baunya semakin melekat setelah dimasak. Di bawahnya, tercium bau campur-aduk inti sari yang masih melekat dari daging segar, tomat merah, blewah, dan air di atas daun selada.” (halaman 1)
Seketika juga saya semakin jatuh cinta dengan buku ini.
Tidak perlu khawatir kalau anda menginginkan cerita yang lebih bahagia. Ada cerita Ian yang sedang jatuh cinta dan petualangannya di kedai makanan Cina. Adapula perjuangan Chloe untuk menentukan sikap dalam hidupnya. Semua petualangan tersebut sekali lagi diramu dalam berbagai resep makanan dan interaksi hangat di dapur Lilian.
230 halaman rasanya tidak cukup untuk menyelami perjalanan 9 orang. Bagaimana kisah mereka menjadi refleksi dari beberapa kisah hidup yang serupa, atapun detail dapur dan suasana kota New York yang dituliskan begitu detail. Erica berhasil meniupkan perasaan hangat dalam berbagai resep makanan di dapur Lilian.
Selamat merayakan kenangan!