Pariwara Ramadhan.
Ada beberapa hal unik yang bisa menandai bahwa bulan Ramadhan sudah dekat. Ketika beberapa orang melihatnya dari penanggalan Hijriah, yang lainnya menggunakan sarana iklan untuk mengukur waktu datangnya bulan penuh hikmah.
“Sirup marjan sudah 3 kali tayang setiap jeda iklan, bulan puasa pasti sudah dekat.”
Beberapa komentar sejenis pun muncul di beberapa kanal sosial. Bukan hanya produk sirup saja yang menjadi penanda khas, Trivia (1) bahkan membuat list produk apa saja yang akan membuat konten khusus Ramadhan. Sebut saja penyedia jasa telekomunikasi, obat kumur dan obat maag, sarung, vitamin penambah daya tahan tubuh, sampai mie instan.
Dalam ilmu periklanan ataupun marketing, tentu saja hal ini tidak bisa dilewatkan begitu saja. Mengapa? Tampilan visual yang mendukung akan menjadi daya jual utama sehingga seseorang merasa membutuhkan produk tersebut selama menjalani puasa.
“Ah, kok rasanya lemas yah kalau tidak meminum suplemen ini.”
“Iya yah, gak perlu ribet masak sahur kalau ada mie instan yang bisa cepat saji.”
Faktor keterikatan akan aktivitas keseharian tetap menjadi jualan utama para pengiklan. Tapi kali ini hadir dengan nuansa lebih istimewa. Apalagi mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Voila! Sebuah ceruk pasar yang tidak bisa disepelekan. Momen ramadhan menjadi kesempatan memintal kembali persahabatan atau komunikasi yang terputus ataukah pakaian baru untuk beribadah.
Hal ini seperti yang dijabarkan oleh Zlad Abu-Saud (2),
“As well as showing us products, adverts also present us with values, ideals and social standards. They draw upon major personal themes such as beauty, happiness, love, companionship, sex, and self-image, in a positive but unrealistic light to promote their product.”
Fenomena ini sangat menarik karena agensi menyiapkan iklan yang hanya diputar selama 30 hari. Mentoknya barangkali 50 hari, mengambil 10 hari sebelum dan setelah Ramadhan. Setelahnya? Iklan itu tidak akan terasa sama lagi. Hal ini bisa memicu semangat belanja orang menjadi berlebih, yang akhirnya menjurus kepada konsumerisme.
Kaitan antara iklan dan konsumerisme sudah banyak dibahas oleh koridor komunikasi. Iklan menjadi media persuasi yang efektif, media meneguhkan sikap untuk memilih sesuatu, bahkan menjadi media pengingat ketika terpapar ide yang sama terus menerus.
Saya seringkali otomatis masak mie instan hanya karena kebanyakan melihat iklan tersebut di televisi (halah, bilang saja kalau doyan).
Nilai-nilai ini kemudian masuk ke dalam alam bawah sadar dan menjadi suatu memori yang sangat kuat. Coba saja masuk ke supermarket tanpa daftar belanjaan bulanan di tangan, yakinlah produk yang dibeli adalah barang-barang yang pernah dilihat iklannya. Kang Salim (3) sendiri bahkan sudah memasukkan agenda setting dalam opininya mengenai iklan,
“Proses agenda-setting rasanya berjalan secara perlahan namun pasti memasuki relung-relung alam bawah sadar sehingga tanpa disadari menumbuh-kembangkan benih-benih konsumerisme yang memang sudah menjadi “ciri” manusia modern yang materilaistis.”
Intinya ya, apa kita benar membutuhkan barang-barang tersebut?
Satu hal yang menarik juga adalah kemampuan para agensi atau pengiklan untuk membuat tayangan yang dibungkus dengan nilai-nilai kehidupan. Tidak melulu hard selling yang mempromosikan keunggulan produknya sebaik mungkin. Banyak pengiklan yang menyisipkan alur cerita yang membuat perasaan penonton menjadi terenyuh. Untuk hal ini mungkin iklan Thailand yang masih menjadi juaranya.
Tetapi tahun ini ada satu pariwara yang mendapat banyak pendapat positif di kanal sosial. Iklan salah satu pusat perbelanjaan yang memberikan cerita seorang ibu yang terkena penyakit dementia semenjak suaminya meninggal. Sejak saat itu waktu menjadi ramadhan sepanjang tahun. Bagaimana akhir ceritanya? Walaupun suasana pusat perbelanjaan ataupun produk yang dipajang di iklan tersebut sangat banyak, tetapi orang-orang masih terpusat ke ceritanya. Semacam fiksimini yang diperpanjang menjadi iklan pendek. Bravo!
Ramadhan selalu menjadi bulan yang istimewa di Indonesia. Pola kehidupan berubah. Pola interaksi berubah. Bahkan konten media pun berubah. Kembali kepada kita sendiri bagaimana menentukan sikap setelah terpapar iklan-iklan tersebut. Apakah kita merasa cukup dengan barang yang ada saat ini, ataukah kemudian kita lalu mengambil kunci motor dan langsung ke pusat perbelanjaan terdekat?
Selamat berpuasa yah temans!
***
Beberapa sumber kutipan :
- Rezita Rani. Iklan-Iklan Khas Bulan Ramadan Ini Pasti Akan Ada di TV, Penanda Bulan Puasa Segera Tiba. http://trivia.id/post/iklan-iklan-khas-bulan-ramadan-ini-pasti-akan-ada-di-tv
- Zlad Abu-Saud. The Dogma of Advertising and Consumerism. http://www.huffingtonpost.co.uk/ziad-elhady/the-dogma-of-advertising-_b_2540390.html
- Kang Salim. Kecanggihan Iklan, Konsumerisme dan Gaya Hidup. http://www.kompasiana.com/kangsalim79/kecanggihan-iklan-konsumerisme-dan-gaya-hidup_54fff559a333118a6d50f858
- Iklan Sprite – Kenyataan Ramadhan (2017). Iklanesia HD. https://www.youtube.com/watch?v=EC2xmJhWBEE
- Iklan Ramayana – Bahagianya Adalah Bahagiaku. Bayu Dwi Raharja. https://www.youtube.com/watch?v=V1-OlUa_pb4
2 thoughts on “Pariwara Ramadhan.”
Aih aih akhirnyaaa ada postingan baru di blog ini 😍 pertama kali liat iklan pusat perbelanjaan itu di facebook, dan langsung berpikir ih kerennya ini iklan, saya bahkan nda keberatan nonton berulang kali
Iklan Ramayana emang jadi yang paling top di Ramadhan tahun ini 👏👏👏