Cerita Ramadhan dan matahari yang tidak pernah terbenam.
Tanganku sibuk memilah dan memperhatikan setiap foto Summer Soltice dari seluruh penjuru dunia. Di negeri 4 musim rasanya musim panas adalah favorit semua orang. Ketika mereka bisa menikmati sinar matahari sepanjang hari atau bahkan sampai sepanjang malam. Stockholm pun tidak pernah beranjak gelap gulita. Waktu paling gelap hanyalah serupa rembang petang bahkan ketika jam menunjukkan pukul 12 malam. Mereka bersuka cita menyambut sinar matahari yang seolah tidak pernah tenggelam. Bagaimana rasanya berpuasa di musim seperti itu?
Beberapa orang mengatakan saya tidak beruntung. Mengapa memutuskan datang berkuliah pada tahun ini. Seandainya bulan Ramadhan jatuh pada bulan Desember atau Januari, maka tentulah saya yang paling diuntungkan. Bisa-bisa puasa hanya 5 sampai 7 jam saja. Tapi sejak kapan sebuah ibadah menjadi faktor hitung-hitungan?
Saya sendiri sudah menyadari hal ini ketika mencari tempat kuliah setahun yang lalu. Letak Stockholm di negara Skandinavia berarti memiliki pola musim yang berbeda. Begitu banyak referensi yang saya telaah mengenai waktu dan cara berpuasa di Eropa. Tidak dipungkiri hal tersebut sempat menjadi momok di dalam kepala. Apakah saya bisa melaluinya? Apakah saya sanggup menahan seluruh nafsu dalam rentang waktu 20 jam. Seluruh ketakutan itu terjawab dalam satu perkataan yang saya ingat,
”Maka tidak mungkin Allah memberikan cobaan melebihi kemampuan umatNya”
Tahun ini adalah Ramadhan kedua saya berada jauh dari rumah. Jauh dari zona nyaman dan suasana Ramadhan di Indonesia. Ketika setiap aspek keseharian seakan larut dalam riuhnya bulan puasa. Siaran televisi, pusat perbelanjaan ataukah suasana berkumpul bersama keluarga mungkin yang paling saya rindukan ketika Ramadhan tiba. Seperti pulang pada sebuah kenyamanan kolektif, dimana rumah adalah tempat paling damai.
Lantas bagaimana dengan puasa di Stockholm? Banyak orang yang heran dan mengernyitkan dahi ketika saya mengatakan harus berpuasa selama 20 jam lebih. Tidak sedikit teman yang mengirimkan pesan melalui jejaring sosial ataupun whatsapp menanyakan kabar. Sayapun masih heran dengan kemampuan tubuh untuk menahan sampai selama itu. Rasanya semua hanyalah trik belaka. Tapi bukan itu yang paling menarik dari Ramadhan tahun ini. Sampai hari keenam saya masih mencari pola yang tepat untuk buka puasa dan sahur.
Bayangkan saja melewati dua fase makan besar diselingi dengan ibadah wajib dan sunnah kurang dari 4 jam. Waktu Imsak untuk wilayah Stockholm adalah 01.55 dan Maghrib 22.08. Alhasil waktu makan malam dan sahur terkadang dijamak dalam satu waktu. Biasanya saya hanya menyantap buah dan yoghurt sebagai pembuka. Sajian tersebut bahkan terasa mengeyangkan karena perut kosong hampir seharian penuh. Mau langsung makan malam, pasti begah. Tidak makan malam segera, pasti terasa tanggung buat sahur karena perut masih terasa penuh.
Beberapa teman sesama pelajar di Stockholm memiliki triknya masing-masing untuk menyiasati keadaan ini. Seperti Ken misalnya, dia makan sejam sekali dalam porsi kecil. Jadi perut tidak akan terasa kaget juga ketika waktu imsak telah tiba. Salah satu mahasiswa lainnya, Nur, triknya adalah makan malam sebelum pukul 11 sehingga masih bisa tidur sejenak sebelum sahur tiba. Semuanya mempunyai pola yang berbeda.
Bagaimana dengan saya? Bagi Ken dan Nur, tahun ini adalah Ramadhan kedua mereka di Stockholm jadi setidaknya mereka telah mempunyai pola dari tahun sebelumnya. Hari pertama saya sukses terlalui dengan sahur dengan porsi normal, mengingat Perhimpunan Pelajar Indonesia mengadakan sahur bersama. Hari kedua dan ketiga saya tidak sempat sahur karena tidak bisa menahan kantuk selepas tengah malam. Hari keempat barulah saya menemukan pola yang cocok yaitu paduan kurma dan buah untuk berbuka puasa dilanjutkan dengan shalat Maghrib. Sekitar pukul 11.40 barulah saya makan malam dengan porsi yang normal. Selepas itu barulah menunaikan shalat Isya dan teraweh. Sambil menunggu waktu imsak dan subuh biasanya saya akan menonton beberapa episode anime favorit, dan tidur setelah pukul 2 subuh.
Hari kelima puasa kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama. Sebuah kenikmatan yang tiada tara mengingat berkilo-kilo jarak kami dari rumah. Ketika berita mengenai tutup-menutup warung ramai di Indonesia menjelang Ramadhan, kami malah berpikir bagaimana menyiasati dan menyimpan energi untuk menikmati musim panas di Stockholm. Menjadi minoritas dalam kantong mayoritas menyimpan cerita tersendiri yang saya akan paparkan dilain postingan. Tentang bagaimana sahabat-sahabat saya akhirnya mengenal tentang label halal dan konsep percaya pada agama.
Ternyata satu hal yang awalnya menjadi momok besar di dalam kepala ternyata tidaklah semenakutkan kenyataannya. Ramadhan tahun ini justru memberikan dinamika dan warna tersendiri pada cerita petualangan di Skandinavia Raya. Puasa bukan berarti jadi alasan untuk berdiam diri di rumah dan menghitung setiap pergantian detik. Summer Soltice berarti suasana kota Stockholm berubah banyak dan keseruan berpetualang barulah akan dimulai.
Selamat berpuasa, teman-teman!
5 thoughts on “Cerita Ramadhan dan matahari yang tidak pernah terbenam.”
Selamat berpuasa iQko!
ini pengalaman luar biasa yang bisa diceritakan ke anak cucu..
semoga tetap kuat berpuasa paman beruang!
Baca ini rasanya ada getaran didada..haha
Semangat puasa kak iQko.. :))))
Semakin berat tantangan satu amalan ibadah, semakin besar pula nilai pahalanya , Al Ajru ‘ala qadril masyaqqah…semoga ini bukan mengajarkan hitung2an tapi begitulah motivasi yang diajarkan dalam agama ini . semangatki /
MasyaAllahh …
semangat ramadhanq …
semoga barokah dan senantiasa diberi kemudahan, tiap langkah di iringi Rahmat Allah. Aamiin 🙂
Kooo… Subuhnya jam 2.29 ko… Masih bisa makan sampe jam segitu kalo mau