The Girl with Glass Feet; tentang menemukan harapan.
Barangkali Saint Huda adalah tempat terakhir yang ingin didatangi sebagai tempat liburan. Dengan suasana yang kelam, rawa-rawa, hutan tidak bertepi dan kabut yang menyelimuti semua bagian pulau, menyebabkan keterasingan yang misterius diantara semua makhluk yang hidup didalam buku The Girl with Glass Feet. Tentu saja termasuk mitos-mitos yang terdengar tidak masuk akal sekalipun.
Pun kedatangan Ida Mclaird sebagian besar untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kakinya. Perlahan namun pasti kakinya berupa kaca, memperlihatkan urat-urat yang mengalirkan darah segar. Dimulai dari telapak kaki, berlanjut hingga ke pangkal paha. Semua pencariannya kemudian berbalik arah ketika bertemu dengan Midas Crook. Seorang pemalu, hidup dalam pikirannya sendiri dan lembaran-lembaran monokrom cetakan fotonya.
Ketika kisah kemudian mengalir, kita akan mengetahui penyebab Midas Crook menjadi seorang penyendiri. Saya selalu tertarik dengan hubungan ayah dan anak, psikologi yang kemudian tertoreh dan menjadi bekal bagaimana seseorang akan bersikap kelak. Midas yang kesehariannya hanya diisi oleh Gustav, sang sahabat, bersama Denver, anaknya, pelan-pelan menemukan sisi-sisi kemanusiaan yang membingungkannya. Bagaimana bersikap dengan semua deru emosi yang melanda.
“… jalanan itu menurun. Dua burung camar terbang melintas, saling berpagutan sembari terbang, dan Ida menangkap sekilas mata kuning mereka. Tak lama kemudian burung-burung itu telah menukik sejajar dengan laut, sangat dekat dengan ombak-ombak yang memecah dan semburan air laut yang membuat jalan mereka berkabut.” (hal. 265)
Dalam bab-bab selanjutnya kita akan menemui kepiawaiannya Ali Shaw dalam menangkap detail dan cerita yang berlapis. Kita akan bertualang bersama Henry Fuwa di rawa-rawa dengan sapi bersayap ngengat, tanah daratan yang misterius, sampai cerita mengenai hubungan orang tua Midas, serta kompleksitas emosi yang menyelimuti Ida dalam pencarian hal-hal yang bisa menyembuhkannya.
“Barangkali kau terlalu keras memikirkan kata-kata apa yang akan kau gunakan, dan bagaimana menyuruh mulutmu mengucapkannya” (hal. 73)
Percakapan tersebut hanya satu contoh dari banyak dialog indah yang tertuang dalam 425 halaman. Semuanya berujar dari sudut pandang setiap tokoh, memberikan kita kesempatan untuk menilai secara objektif untuk setiap tindakan, pikiran yang dilakukan. Walaupun akhirnya semua bermuara pada area abu-abu, tidak ada perkara benar dan salah. Di beberapa titik seolah semua keputusan diambil sambil berjalan dalam kabut pulau yang membingungkan.
Pada akhirnya semua pencarian tentang cinta akan bermuara pada pertanyaan, apakah saya telah melakukan yang terbaik? Apakah saya telah berjuang dengan sungguh-sungguh? Cerita ini akan mengajarkan kita tentang kehilangan, bagaimana bersiap untuk merelakan, sampai bagaimana menyikapi masa yang telah lalu. Seberapa siapkah kita?