Pengalaman menjadi relawan Stockholm Film Festival.
Sore terasa begitu panjang ketika kami sibuk membenahi tenda panitia Summer i bio festivalen atau Festival Film Musim Panas di Stockholm. Beberapa orang tampak merapikan bungkusan merchandise bagi para pembeli kartu membership untuk festival film yang akan diselenggarakan pada bulan November yang akan datang. Saya dan Oskar sore itu membereskan permen, cemilan kecil dan mempersiapkan teh dan kopi yang akan dijajakan di kios panitia.
Ini adalah kali ketiga saya bergabung dengan festival film terbesar di Stockholm. Ketika melihat melihat pengumuman mereka mencari volunteer atau relawan melalui papan iklan Kulturhuseet, rasa penasaranku tergelitik. Bagaimana rasanya bergabung dengan tim yang benar-benar baru? Rasanya masih teringat dengan jelas ketika Jasmina, sang koordinator relawan mewawancarai semua calon volunteer untuk mengetahui keahlian, minat dan bakat untuk ditempatkan di divisi yang tepat. Gugup? Tentu saja! Belum genap 3 bulan di Stockholm saya sudah berani untuk menceburkan diri dalam satu lingkaran yang benar-benar baru. Toh dalam pikiran mungkin ini bisa membantu untuk berkenalan dengan orang-orang baru.
Selain berharap nantinya bisa nonton film gratis selama festival sih.
Untunglah gegap budaya tidak sampai terjadi ketika hari pertama bekerja. Ada begitu banyak keterbatasan yang membuatku tidak bisa dengan mudah masuk ke divisi utama. Kendala bahasa adalah yang utama, ketika seluruh koordinasi dilakukan dalam bahasa Swedia. Maka jadilah tahun lalu saya masuk dalam divisi Silver Screen Award yang bertugas untuk memberi informasi mengenai film khusus dari Amerika yang mendapatkan bersaing dalam kategori tersebut, memberikan daftar polling, sampai menunggu daftar polling tersebut dari pengunjung ketika film selesai.
Perasaan saya campur aduk. Antara ego dan gengsi.
Saya yang terbiasa mengurusi banyak kegiatan di Indonesia, terbiasa menjadi koordinator atau panitia inti kemudian menduduki lapisan paling bawah ketika sesampainya di Stockholm?
Seperti itulah, masih ada langit di atas langit. Bukan berarti saya tidak mampu melakukan pekerjaan taraf manajerial dalam sebuah kegiatan, tapi memang Stockholm adalah sebuah tempat yang baru, dengan ritme yang berbeda. Niat awalnya kan memang untuk belajar dan melihat bagaimana sebuah festival dengan taraf Internasional dilaksanakan. Tidak tanggung-tanggung tahun lalu Uma Thurman hadir sebagai bintang tamu.
Seluruh panitia begitu sabar meladeni pertanyaan para relawan. Bagaimana sistematika penarikan polling, bagaimana trik ketika dicueki penonton film ataukah sekedar berbagi tawa ketika angin musim dingin terasa menusuk dan kami masih harus bekerja sampai larut malam. Semua rasa lelah itu terbayar ketika banyaknya polling tahun lalu mengalahkan rekor jumlah voters tahun-tahun sebelumnya.
Ketika ada undangan untuk menjadi panitia festival film musim panas datang, saya dengan otomatis mengiyakan permintaan tersebut. Mungkin sudah ada naluri pribadi untuk selalu menjadi panitia kegiatan. Selalu ada perasaan puas tersendiri ketika sebuah kegiatan berlangsung dengan sukses dan kita bisa melihat senyum kepuasan di wajah pengunjung.
Tetapi ternyata ada yang berbeda untuk festival musim panas ini. Selepas membereskan barang dagangan untuk kafe, Carolina sebagai penanggung jawab relawan menghampiri saya dan Oscar dengan membawa dua buah kostum astronot.
Hahaha. Tugas saya sore itu bertambah lagi dengan menjadi astronot yang menjajakan popcorn selama festival berlangsung. Disesuaikan dengan tema festival kali ini adalah luar angkasa, Carolina beranggapan kalo ikon astronot itu bisa menambah seru suasana. Apa yang bisa saya lakukan? Menolak tentu saja tidak bisa karena dengan tajuk relawan maka tentu saja harus mengerjakan seluruh pekerjaan yang tersedia.
Rasanya sangat malu ketika mengenakan pakaian astronot tersebut. Saya dan Oskar terus berpandangan bahwa sesial apakah kami ini sehingga harus menjadi bahan tontonan para pengunjung? Tapi saya kemudian berpikir kapan lagi saya melakukan kegilaan seperti ini? Ada gengsi dan ego yang dileburkan demi menyukseskan suatu acara. Saya paham bahwa sebuah roda kegiatan terbagi menjadi beberapa elemen kecil pendukung. Ketika satu elemen tidak mampu mengerjakan fungsinya, maka bisa dipastikan seluruh kegiatan tersebut tidak akan berjalan.
Bisa jadi di Indonesia atau di Makassar posisi saya sudah berada di kutub yang berbeda. Bisa menjalankan sebuah kegiatan dari poros manajerial. Tapi ketika berada di posisi yang lain, maukah saya menjalani peran tersebut?
Ternyata seluruh ketakutan yang ada di kepala hilang ketika kami berjalan menuju para pengunjung festival. Untuk putara pertama saya dan Oskar berjalan berdua untuk meredakan kegugupan kami. Beberapa kali tawa pengunjung terdengar sambil mengomentari kostum astronot yang sangat mentereng tersebut. Awalnya kami hanya bisa tertawa gugup dan salah tingkah. Tapi selanjutnya kami menikmati menjadi pusat perhatian XD, beberapa orang mengajak foto bersama, ngobrol sejenak sebelum membeli popcorn.
Entah apa yang ada didalam kepala para pengunjung. Saya tahu beberapa dari mereka mengasihani saya ataukah meledek, tapi justru dukungan dari panitia dan orang-orang lain justru lebih membuat bersemangat. Sekali lagi sore itu saya belajar tentang hal lain. Bagaimana sebuah sistem memiliki elemen pendukungnya satu sama lain dan terkadang ego harus dilebur untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Sampai jumpa di Stockholm Film Festival di bulan November!
2 thoughts on “Pengalaman menjadi relawan Stockholm Film Festival.”
hehehe, saya kembali menarik scrool mouse ke gambar meja panitia memastikan wajah di helm astronot, penasaran liat kostumnya qko..
Tidak ada yang salah menjadi ‘lapisan terbawah’ wahai.. mas yang sering jadi panitia inti. Itu mungkin petunjuk dari Yang Maha Adil, bahwa selama ini dirimu terlalu sibuk berada di atas jadi sesekali egonya ditampar dulu. Hehehe..
*iya, saya kalo ngasih komen selalu serius* *semoga tidak dilempari helm astronot*