Jangan Cari Potret Keluarga di Rumah Kami.
Setiap ada orang yang bertanya kepada saya,
“Seperti apa keadaan rumahmu iQko?”
Saya hanya bisa terdiam sejenak dan tersenyum. Terdiam untuk memberikan ruang di kepala jawaban apa yang akan kuberikan. Tersenyum karena mungkin keluarga saya termasuk salah satu keluarga dengan kebiasaan yang aneh.
Tumbuh besar dalam keluarga yang demokratis dan egaliter membuat banyak orang sering memandang iri kepada saya.
“Hah, kamu tidak pernah dimarahi ketika terlambat pulang?”
“Kamu yang memutuskan sendiri mau kuliah dimana, bahkan dengan kerja sambilan sana sini?”
“Hah, kamu masih bisa bertahan dengan keadaan rumah seperti itu?”
Bapak saya, Syarifuddin Djalil, merupakan sosok konservatif. Sama dengan tipikal orang tua yang bersuku Makassar lainnya, kami tidak dekat. Selalu ada yang membingungkan ketika harus berinteraksi dengan beliau. Selalu dan selalu. Sehingga tidak banyak memori terekam dengannya. Walaupun tinggal serumah, bisa saja kami saling tidak saling menyapa satu sama lain. Terlihat aneh? Entahlah. Begitulah sistem yang terjadi di rumah. Ketika bahasa verbal tidaklah terlalu penting, ketika saya melihat bapak dan keadaannya baik-baik saja, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Mungkin perubahan yang benar-benar terasa ketika saya merasa jauh ketika memasuki sekolah menengah pertama. Disinilah saya mulai kehilangan figurnya. Kebiasaannya keluar malam untuk sekedar bermain domino bersama beberapa tetangga, sampai kebiasannya untuk tidur sepanjang hari ketika hari libur tiba. Otomatis tidak banyak percakapan yang terjadi. Tidak banyak interaksi yang tertukar. Pelan-pelan pula semua keputusan tentang hidupku mulai dibebankan kepada diri sendiri. Pilihan untuk masuk ke sekolah mana, mengenai pelajaran, ataupun tentang hati, tidak pernah lagi saya bicarakan dengannya. Semuanya berlalu dengan begitu saja, sampai saat ini. Ketika semua pilihan hidup ada di tangan saya sepenuhnya.
Disinilah pelan ruang kosong itu diisi oleh ibu saya, Kurnia. Sebagai tipikal perempuan Jawa, beliau bisa mengalirkan kasih sayang dengan tanpa hentinya. Walaupun akhirnya budaya verbal tidak pernah berhasil terbangun di keluarga kami, dia membuat saya percaya bahwa terkadang tindakan lebih berarti daripada sekedar perkataan. Ketika semua keputusan ada di tangan masing-masing anaknya, disanalah beliau berdiri sebagai ibu dan sebagai kepala keluarga sekaligus. Beliau menyakinkan setiap pilihan yang diambil tanpa lupa mengingatkan konsekuensi yang akan terjadi.
Saya sendiri merasa sangat dekat dengan ibu. Entah darimana asalnya hukum keturunan yang mengatakan bahwa anak kedua akan membawa sebagian besar gen dan sifat-sifat seorang ibu. Tetapi itulah yang terjadi. Beliau bisa merasakan ketika saya sedang memiliki masalah, ataupun sekedar risau dengan sesuatu. Kami tidak pernah berbicara banyak, karena semua urusan pribadi tidak masuk ke ranah urusan keluarga ketika sang anak tidak mau membahasnya. Dia hanya masuk ke kamar, mengelus kepalaku yang berusaha tertidur. Saat itulah saya merasa mempunyai semangat lagi dengan semua masalah yang akan kuhadapi.
Beliau selalu mengajarkan arti pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.
“Biarlah bapak dan ibu yang bodoh, sekolah hanya sampai SMA, asalkan kalian semua jadi orang”
Itulah janji yang sepertinya terlalu keras dia tanamkan kepada dirinya sendiri sehingga memberikan kami sekolah terbaik. Sekolah yang iuran perbulannya menyamai biaya saya kuliah. 3 orang anak sekolah di Sekolah Elit? Bahkan bapak pun marah ketika mengetahui keadaan sebenarnya beberapa tahun yang akan datang. Ternyata gaji beliau tidak pernah cukup untuk biaya sekolah kami bertiga. Seberapa besar gaji seorang PNS golongan III? Jadilah ibu meminjam kesana-kemari. Berhutang dengan berharap belas kasihan para keluarga. Kenyataan yang membuat keluarga kami hampir rusak ketika bapak tahu. Baru sekali itu bapak menangis, ketika seorang keluarga datang menagih hutang ibu. Akan seperti apa keluarga kami?
Ketika sekarang saya dihadapkan setiap masalah yang datang, pelan saya menampar diri sendiri. Sambil mengingat saat ketika rumah berubah menjadi neraka. Menyerahkah kami semua? Saya jujur menyerah. Berharap kuliah bisa keluar daerah supaya bisa lari. Tetapi ibu tetap berada di tempatnya. Berusaha menyelesaikan persoalan dengan cara yang dikuasainya. Beliau lalu menjual nasi kuning dan nasi goreng. Berbekal dapur keluarga kami, jadilah rutinitas rumah berubah. Jam 3 subuh saya sudah mendengar ibu memasak dan menumis. Inilah resiko jualan untuk sarapan. Beliau tidak pernah mengeluh. Pergi ke pasar, memasak sedari subuh dan tetap tersenyum menghadapi orang. Inilah yang menopang ekonomi keluarga kami beberapa tahun. Ketika akhirnya bapak meminjam uang di bank untuk menutupi semua utang ibu. Karena kami, anak-anaknya harus mendapat sekolah terbaik.
Malukah saya dengan semua cerita ini? Saya tidak pernah malu mengakuinya. Inilah yang membuat saya berdewasa sampai sekarang. Sebab urat malu sudah kami buang jauh-jauh. Berjuanglah untuk hidupmu, itu selalu pesan beliau. Sampai badai lain datang menghantam keluarga kami. Keadaan yang kukira akan perlahan berubah nyaman. Sampai suatu hari ketika ibu memelukku dari belakang sambil menangis ketika saya sedang menyelesaikan skripsi. Katanya ada perempuan lain di hati bapak. Saya pikir cerita seperti itu hanya ada di televisi. Tapi ternyata itu terjadi di rumah yang saya kukira sudah nyaman.
Jadilah kami menjadi sang anak menjadi pelindung beliau. Ketika harus menjemputnya di jalan ketika akan melabrak sang perempuan itu, ketika berusaha berbicara dengan bapak, sampai harus memeluk ibu sambil menangis. Sebenarnya seberapa luas hati ibu? Mungkin hanya Tuhan yang mengetahuinya ketika ibu memaafkan semua kesalahan bapak. Walaupun kami tahu semuanya tidak akan seperti dulu lagi, tetapi kami semua berusaha memperbaiki keadaan rumah. Mampukah saya melewati masalah ini ketika menyerang keluarga yang akan kubina kelak? Sekuat hati ibu menanggung semua masalah?
Saya selalu menganalogikan keluarga kami sebagai sebuah vas yang telah retak dan pecah sana sini. Terhempas dan terjatuh berulang kali. Tetapi semua bagian bisa kembali utuh berkat cinta ibu yang begitu besar. Walaupun beberapa bagian tidak akan sama, tetapi itu masih bisa menjadi rumah yang nyaman dengan kehadiran beliau. Maka janganlah mencari potret keluarga di rumah kami. Karena kami bukanlah tipe keluarga ideal yang selalu terlihat tersenyum bahagia di setiap potret keluarga. Tetapi kami membawa potret kasih sayang itu dalam hati kami. Selayaknya cinta ibu yang tidak pernah benhenti mengalir. Mungkin nanti, akan kalian temukan potret keluarga utuh di rumahku. Ketika beliau sudah menggendong cucu. Bukti bahwa kasih sayangnya telah mengalir di sungai kasih sayang yang lain. Itu janjiku.
2 thoughts on “Jangan Cari Potret Keluarga di Rumah Kami.”
thanks ya Iqko, for being brave to come out and share the story of your family. Sebuah keputusan yang luar biasa sulit. Selamat, kamu naik kelas.
*hapus air mata*
terharu sekali.. :,(
salam untuk ibu mas yg luar biasa.. semoga selalu diberi kebahagiaan hingga akhir hayat
semoga mas juga bisa membahagiakan ibunya selalu.. amin..