Menikmati riuh media sosial dalam koridor pancasila.
Suasana media sosial di Indonesia itu sangat meriah, beragam dan seakan tidak pernah berhenti bergemuruh. Dalam kurun waktu 3 hari saja pembahasan di kanal sosial berganti dari harga sepatu presiden Jokowi, perdebatan antara vaksin dan anti vaksin, sampai perbincangan mengenai hasil pertandingan bola. Hal ini tentu saja sudah menunjukkan kemajemukan dan perbedaan yang sangat mendasar bagi masyarakat Indonesia. Apa jadinya semua orang bebas berpendapat?
Kemajuan teknologi tidak bisa dipungkiri mendukung perubahan perbincangan dan isu ini. Yang dulunya media hanya bersifat satu arah dan asupan informasi hanya didapatkan dari media mainstream seperti koran, televisi dan radio, sekarang berganti arah. Era media sosial mengubah semua orang menjadi narasumber, pakar dan ahli komentator. Akibatnya twitwar atau perang twit sudah menjadi menu keseharian. Kebebasan untuk mengutarakan pendapat di status Facebook pun menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa. Tapi bagaimana kalau justru kemerdekaan itu malah kebablasan?
Hal inilah yang kemudian menjadi topik diskusi beberapa warganet dan beberapa narasumber yang berkompeten di bidangnya. Dalam acara yang bertajuk, ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Bermedia Sosial” diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan menghadirkan Prof. Dr. H. Muhammad Galib, M, MA yang membicarakan media sosial dalam lingkup fatwa MUI, Dr. Heri Santoso dari sudut pandang pancasila, dan juga Handoko Data dari Tim Komunikasi Presiden. Hari Rabu, 16 Juni 2017 bisa jadi hari yang berkesan untuk warganet Makassar. Karena banyak sinergitas ide dan pemahaman yang kemudian menjadi dasar untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Aktualisasi nilai-nilai pancasila yang dulunya dijabarkan dalam poin-poin P4 terasa teoritis dan perlu diadaptasikan dalam kehidupan masyarakat digital Indonesia. Tentu saja dunia maya adalah refleksi dari dunia nyata. Apa yang diperbincangkan dalam konteks digital adalah pengejewantahan isu-isu kekinian yang membuat masyarakat menjadi lebih vokal, peduli, dan juga mau menyuarakan aspirasinya. Sebuah perubahan yang signifikan dari sistem negara dan media di masa lampau.
Satu hal yang ditekankan oleh Heri Santoso adalah bagaimana aturan main dalam masing-masing dunia ini bisa bersinergi dan saling menghormati satu sama lain. Masalah muncul jika ada konflik tentang dasar, atura main, dan kriteria nilai. Disinilah kita kemudian harus merefleksikan kembali nilai-nilai bagaimana menyuarakan argumen tanpa menyebabkan perselisihan. Bagaimana menghormati hak bersuara warganet yang lain tanpa menyakiti perasaan dan tetap menjunjung kebhinekaan.
Konsep dan konteks ini mungkin terdengar ideal diatas kertas, walaupun seringkali sulit diimplementasikan dalam dunia nyata. Bagaimana membawa nilai-nilai bernegara, berbudaya dan beragama dalam koridor yang santun. Heri sendiri kemudian memberikan contoh bagaimana isu agama yang dibenturkan dengan budaya masih menjadi komoditas utama pembicaraan kanal sosial. Apalagi isu tentang agama dan negara. Bisa menjadi bahan obrolan atau gunjingan yang tidak akan ada habisnya.
Padahal dalam konteks pancasila pun sudah diusung Ketuhanan yang Maha Esa, bahwa masing-masing warga negara berhak untuk dilindungi haknya dalam beragama. Nilai-nilai agama inilah yang kemudian diturunkan dalam konstitusi untuk mengatur khazanah berbincang dan bertutur yang laiknya masyarakat yang beradab. Politik, terorisme, disintegrasi bangsa ataupun isu kebhinekaan masih menjadi topik yang seksi untuk diperbicangkan. Akan tetapi patut diingat lagi, kita benar atas nama siapa? Masa iya membawa nama semua umat untuk perilaku segelintir orang.
Disinilah peran Majelis Ulama Indonesia menjadi pedoman yang bisa digunakan untuk bersikap. Bagaimana sih sebenarnya cara menggunakan media sosial yang baik itu. Beberapa kata kunci dari Prof. Dr. A.M Ghalib, M.A di Hotel Grand Clarion adalah klarifikasi, cek dan ricek, serta tabayyun. Kenapa hal ini menjadi penting. Ya itu tadi, sifat media sosial yang viral dan gaungnya luas menembus batas fisik dan waktu. Faktor luasnya indonesia kemudian menjadi hilang dalam konteks digital. Apa yang menjadi perbincangan hari ini bisa jadi tren untuk pekan yang akan datang. Hal ini menjadi pengingat di #temublogger bahwa apabila kita tidak mampu menggunakan media sosial dengan baik, ya bisa menjadi dosa.
Apa lagi sekarang dengan gampangnya orang-orang mengutip,
”copas dari grup sebelah”, ”forward dari status tetangga.”
Apa iya mereka yang kita kutip itu pengetahuannya lebih baik? Sumbernya lebih valid? Disinilah dibutuhkan kecerdasan emosi dan kecerdasan literasi masyarakat indonesia. Seringnya kita ingin tampil menjadi yang tercepat dalam mengabarkan tapi justru menyesatkan orang-orang. Padahal akibatnya bisa terjadi pembunuhan karakter, ataupun razia terhadap mereka yang ideologinya tidak sama. Prof Galib selalu menekankan untuk tidak menyebarkan hoax atau informasi yang bohong, melakukan ghibah, atau melakukan bullying dan ujaran kebencian di media sosial.
Kita bisa kok berinteraksi secara santun, memberikan informasi yang benar dan bermartabat, dan selalu mempererat ukhuwah dengan saudara sebangsa. Disinilah sinergi antara nilai #pancasila dan nilai-nilai agama kemudian lebur dalam keharmonisan interaksi. Kalau memang bisa menjadi orang baik, kenapa harus selalu merusuh hanya untuk mencari musuh?
Hal terakhir yang disampaikan oleh Pak Handoko menjadi nilai penting bagi #temublogger ini. Tim komunikasi presiden sudah menyiapkan bahan-bahan menarik untuk melihat bagaimana kinerja dan program Presiden Jokowi di tahun ketiga. Betapa banyak keberhasilan yang terjadi namun belum mendapat perhatian dari khalayak luas. Disinilah nilai plus media sosial. Ketika bisa digunakan sebagai corong utama untuk mengabarkan kabar baik, media sosial bisa menjadi penguat dari media massa untuk memberitakan kemajuan Indonesia.
Sepekan berlalu dari #pekanpancasila, saya ingin mengutip kembali sambutan presiden Jokowi di Peringatan Hari Lahir Pancasila untuk menyerukan kita untuk menjaga perdamaian, jaga persatuan, dan jaga persaudaraan di antara kita. Mari kita saling bersikap santu, saling menghormati, saling toleran, dan saling membantu untuk kepentingan bangsa.
Yuk, mari menikmati riuh rendah media sosial dalam sifat santun dan toleran terhadap sesama warnaget.
2 thoughts on “Menikmati riuh media sosial dalam koridor pancasila.”
Keren kakak Iqko …
Lanjutkan.
Makasih kak. Mari tetap semangat!