Ini adalah beberapa foto yang sempat tertangkap dari perjalanan selama 3 hari menjelajahi Spermonde. Berbekal undangan dari Dinas Pariwisata dan Possi (thanks to om Januar) kita bisa menikmati keindahan wisata bahari Sulawesi Selatan. Postingan berikutnya akan dibagi menjadi 3 cerita, silahkan bersiap dan menikmati indahnya gugusan pulau Spermonde. Surga itu dekat, kawan!
Jalan Pattimura, Jalan Balaikota selalu disebut sebagai wilayah kota lama. Mengapa? Saya sendiri menduga karena posisi jalan ini dipenuhi oleh berbagai instansi pemerintahan yang dulunya menjadi pusat kota. Sebut saja kantor walikota dan berbagai dinas lainnya. Belum lagi wilayah pelabuhan, pecinan, taman kota, sampai pusat perbelanjaan emas dan oleh-oleh di jalan Sombaopu.
Satu bangunan yang kemudian menjadi ikonik adalah Kantor Pos Besar. Sebagai salah satu bangunan “penanda” lokasi di daerah ini, beberapa wisata kuliner lekat dengan embel-embel “kantor pos besar”. Apa saja yang bisa dinikmati?
Terletak di depan Kantor Pos Besar, depan taman macan, berdiri warung makan yang bisa sangat menggoda iman kala jam makan siang tiba. Bersyukurlah mereka yang berkantor di area ini, karena pilihan makanan yang sangat beragam. Mulai dari warung ikan bakar sampai soto banjar yang sangat terkenal.
Niat menghabiskan minggu sore dengan nongkrong di Benteng Rotterdam bersama para perajut ternyata mengenalkan saya kepada satu komunitas lain. Mereka yang memainkan pensil dan pulpen membuat garis dan arsiran. Menangkap momen yang ada dan menuangkannya dalam bentuk sketsa.
Sore itu saya berkenalan dengan Anggi. Perempuan bertubuh mungil dan berambut sebahu. Dia menjelaskan bahwa komunitas sketcher ini bergeliat lagi setelah beberapa saat vakum. Sebetulnya menggambar sketsa telah masuk di Makassar sejak tahun 2009. Tapi karena kesibukan sang ketua terdahulu, komunitas ini sempat terhenti berkumpul dan sharing. Kini di tangan Anggi dan beberapa orang, mereka ingin mengenalkan lagi sketsa kepada masyarakat Makassar.
Apakah sulit untuk menggambar sketsa? IYA! Beberapa orang mungkin akan mengiyakan juga pertanyaan tersebut. Maklum saja, pengalaman menggambar saya termasuk kelas cetek. Terpatron dalam ingatan pola yang paling sering digambar adalah : pemandangan dengan dua gunung, matahari di tengah-tengah, jalan yang semakin membesar entah dari tengah atau ujung gunung, serta barisan sawah yang menghijau. Selebihnya? Tidak ada yang bisa dibanggakan.
“Pakai tusukan 2 – 2 – 1, setelah itu dilanjut dengan pola yang lain”
“Setelah pola ini, selanjutnya diapakan lagi?”
“Ini sudah gulungan yang kedua, syalnya sudah hampir jadi”
“Yah tergantung nanti mau fokus dimana, merajut atau knitting”
Bingung dengan beberapa potongan percakapan diatas? Sama. Awalnya saya juga sempat bingung ketika mendengar dan melihat proses merajut secara langsung. Ternyata konsepnya bisa mengalahkan pola dalam strategi sepak bola. Pun ketika harus cermat mengingat angka-angka hitungan yang dijadikan dasar rajutan, niscaya bisa mengalahkan keruwetan sudoku. Lantas apa yang saya lakukan ditengah-tengah kaum perajut ini? Tentu saja mencari jodoh! #eh
Umur komunitas ini masih seumur jagung. Virus merajut pun masih terus ditularkan kepada semua orang. Maklum saja, tidak semua orang familiar dengan konsep merajut. Apalagi kaum urban yang lebih familiar dengan mall. Padahal banyak kreativitas yang bisa tersalurkan disana. Diantara pola-pola yang harus dibuat, pilihan warna yang digunakan, sampai kesabaran dalam menyelesaikan satu rajutan. Bosankah mereka? …