Paris, tidak hanya tentang penanda kota. (2)
Kasus Charlie Hebdo membuat masyarakat Paris menjadi sangat sensitif dengan isu agama. Saya harus berhati-hati untuk menanyakan arah. Setelah sempat nyasar beberapa kali dan mendapat bantuan dari orang lokal, akhirnya saya beruntung mengunjungi rumah Allah. Rasanya lega bisa menundukkan wajah dan menyeka lelah dengan air wudhu. Semoga setiap perjalanan selalu dimudahkan untuk keesokan harinya. Saya mempunyai satu cerita istimewa tentang mesjid ini, tapi biarlah disimpan untuk konsumsi pribadi. Tidaklah rugi untuk meluangkan waktu mencari lokasi mesjid karena arsitektur dan suasana damai yang menyertainya sangatlah meneduhkan.
Berjalan di area selatan yang tidak terlalu hip membuat saya akhirnya merasakan bagaimana keseharian masyarakat Paris pada umumnya. Melihat cara mereka berpakaian, menikmati sore, atau mengikuti keseharian mereka menunggu metro.
Salah satu keuntungan untuk menjelajahi area selatan adalah kita bisa menemukan banyak makanan halal dan murah! Mau diapakan lagi kalau kebab menjadi pilihan utama. Sepertinya wilayah selatan identik dengan komunitas muslim atau warga Turki dan Maroko. Salah satu gedung yang patut dikunjungi adalah Arab Du Monde. Selain melihat perpustakaan yang berisikan sejarah Timur Tengah, kita bisa naik sampai lantai teratas untuk menikmati pemandangan kota Paris.
Penyisiran saya berlanjut semakin ke selatan menuju Bastille untuk mencari salah satu taman terpanjang di kota Paris. Lagi-lagi berjalan kaki. Sebenarnya lokasi-lokasi ikonik tersebut bisa dijangkau dengan mudah oleh sistem metro yang praktis. Tidak perlu kaget dengan peta dan rute sistem metro yang terintegrasi dengan bus dan RER. Selama kita tahu mau ke area mana dan browsing stasiun metro terdekat, kita bisa bepindah tempat sekejap mata.
Salah satu trik untuk menyiasati agar tidak tampak seperti turis adalah mengetahui secara detail itineary perjalanan. Saya diwanti-wanti oleh beberapa teman bahwa Paris adalah kota yang rawan dengan copet dan umumnya yang menjadi sasaran empuk adalah wisatawan. Mereka yang lengah membuka map di tengah jalan, kelelahan di stasiun metro, atau tampak kebingungan mencari arah adalah target yang utama. Sebaiknya cari dengan detail informasi mengenai lokasi yang ingin dikunjungi. Biasanya lokasi tersebut sudah disertai dengan lokasi stasiun metro atau bus terdekat. Catat poin-poin tersebut di handphone, lalu buka seperlunya setelah sampai di tujuan.
Sistem terintegrasi transportasi Paris juga bisa dikatakan mahal. Kita bisa memilih jenis tiket untuk sekali jalan, untuk 5 kali jalan, atau untuk sehari penuh. Tentu saja ada potongan harga untuk tiket terusan. Silahkan rinci beberapa tujuan yang ingin dikunjungi, karena menurut saya beberapa lokasi tersebut sangatlah dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi tentu saja kita tidak ingin kelelahan dan lama di jalan. Simpan baik-baik tiket terusan tersebut karena akan dipakai dalam jangka waktu 1 atau 2 hari.
Tidak seperti saya yang menghilangkan tiket untuk 2 hari, sehingga saya harus berjalan kaki kesana-kemari.
Sebelum berpindah ke wilayah utara, lokasi terakhir di selatan Paris yang ingin saya datangi adalah Bastille yang terkenal dengan romansa kota Paris. Kita bisa menemukan gedung-gedung tua yang dipenuhi oleh arsitektur menawan, serta taman yang terletak di atas bangunan kota. Saya adalah orang yang sangat ambisius ketika berbicara tentang taman dan tetumbuhan. Entah mengapa saya sangat menikmati taman atau wilayah hijau suatu kota. Rasanya menjadi penyeimbang diantara beton-beton yang menjulang ke angkasa. Sayangnya musim semi belum sepenuhnya tiba. Pohon Pomade yang menjadi ikon taman ini masih gersang. Tapi tidak perlu khawatir karena barisan bunga dan pohon-pohon yang lain siap memanjakan mata –termasuk harus iri dan cemburu melihat pasangan yang bermesraan di bangku-bangku taman.
Setelah puas berjalan di setapak penuh bunga tersebut (hanya 1 kilometer dari total 4 kilometer keseluruhan), saya berpindah dan menyisir rute utara. Lokasi ini saya dapatkan dari Laura, sesama pejalan dari Jerman. Dia merekomendasikan area yang disebutnya ghetto untuk mengunjungi satu tempat untuk melihat kota Paris dari atas. Bukit Montmartre adalah titik tertinggi kota Paris dimana terletak basilika Sacré-Cœur. Sebagai bagian sejarah Prancis, basilika ini menandai era Franco-Prussian War dan Paris Commune of 1871 sebagai most rebellious neighborhood. Saya tidak berkunjung ke basilika, tetapi menyusuri area Montmartre sangatlah menarik. Kita bisa menemukan flea market yang terletak di tengah-tengah dan mendapati puluhan pelukis sketsa wajah. Puluhan hasil karya pelukis ini bisa kita lihat, sembari menanyakan harga satu sketsa kalau berminat. Pun beberapa vintage shop bisa ditemukan di lokasi ini, walaupun beberapa item nampak seperti baru.
Yang menjadi pusat perhatian saya adalah ketika menelusuri jalan utama untuk kembali ke pusat kota Paris. Berbekal kata Moulin Rouge, pemandangan saya tercuri sepenuhnya oleh barisan Sex Shop di sepanjang jalan. Apakah ini red district kota Paris? Saya sendiri hanya membaca sekilas informasi mengenai Moulin Rouge di meja informasi hostel, bahwa reservasi harus dilakukan minimal beberapa hari sebelumnya untuk menonton cabaret tersebut. Apa yang ada dalam gambaran ketika melihat beberapa tempat menyajikan live show dan nonton bokep di layar lebar? Well, satu kata untuk menyimpulkannya. Sore yang luar biasa.
Sebelum memutuskan untuk menghabiskan malam dimana, akhirnya saya berkesimpulan bahwa Paris sangatlah dinamis. Rasanya tidak adil hanya memusatkan kegiatan hanya diantara para penanda kota sementara ritme yang sama juga tersebar di seluruh penjuru kota. Saya menikmati secangkir coklat panas di kafe sambil mendengar para Parisian berbincang, ikut berbelanja di toko yang terletak di gang kecil, sambil membeli pulpen di koperasi universitas Sorbonne.
Penanda kota itu perlu, tapi yang paling penting adalah menikmati esensi dan suasana setiap kota yang dikunjungi. Petualangan apa yang menanti saya di Brussel?