Gili Story #1 : dan petualangan dimulai!
Ketika melihat jejak kebelakang, saya selalu tersenyum mengingat betapa banyak yang telah terdatangi, telah banyak tempat telah saya lihat dan nikmati. Walaupun tidak pernah sekelas dan tidak sebanyak para traveler terkenal, saya menikmati sensasi tersendiri dari setiap perjalanan. Tentang melompati waktu, menikmati riuh dari kondite lain setiap kehidupan.
Seberapa banyak saya berjalan setiap tahunnya? Saya kemudian teringat pada satu ucapan bahwa selalu ciptakan keadaan dimana kau tidak butuh lari setiap waktu darinya. Karena terkadang perjalanan bagi sebagian orang adalah manifestasi rasa jenuh. Keinginan untuk lari dari kenyataan, walaupun sejenak, tapi bisa bernafas lega. Kali ini perjalanan saya dimulai di Gili Trawangan.
Dari sekian banyak destinasi, entah mengapa saya jatuh cinta dengan laut, ombak, pantai. Saya selalu terkesima dengan luasnya horizon yang bisa saya lihat, selalu merasakan sentimentalitas berlebihan ketika melihat sunrise maupun sunset, atapun hanya menikmati sensasi panas laut. Urusan kulit hitam? Itu belakangan. Saya selalu takut ke gunung, karena dia bisa menciptakan ilusi-ilusi yang selalu tampak sama. Hahaha, saya memang buta arah, dan geografi saya selalu dibawah minus. Pejalan macam apa saya ini? Bahkan di peta buta pun saya tersesat!
Gili Trawangan yang saya bayangkan adalah sebuah pulau pelarian yang tepat. Dengan bungalow-bungalow sepanjang pantai, kehidupan yang begitu riuh dan tentu saja akomodasi yang memadai. Apa yang terjadi sesampai disana?
Pelan-pelan saya membangun imaji yang lain. Bahwa memang Gili Trawangan adalah sebenar-benarnya neraka. Neraka bagi para jomblo! Kalau bukan orang pacaran, pastilah newlywed. Berpelukan, berciuman, berpegangan tangan, semuanya dilakukan di jalan! Romantisme café yang berjejer juga menambah romansa, sehingga mereka yang jomblo akut bisa dikatakan akan segera merasa penat tak berkesudahan. *termasuk saya* *kemudian nangis*
Bagaimana dengan akomodasi di Gili Trawangan? …