Drama minggu sore.
Saya menghela nafas panjang. Sesekali tatapan kami bertemu, saya pun berusaha menyamarkan tatapan tidak suka. Beberapa kali pantat saya seperti terkena paku panas. Menggelinjang gelisah. Tangan saya memegang apa saja. Sambil berusaha keras untuk tidak melemparkan benda tumpul atau tajam kepadanya. Telingaku panas, berdesing oleh selorohan ucapannya.
Cukup! Tidak tahan akhirnya saya meninggalkan tempat itu, setelah dia berucap dan memainkan telunjuknya didepan mataku,
“Memang apa masalahnya sampai iPad 3 belum masuk ke Indonesia?”
“Sudah, nanti Mama ke Singapura buat belikan kamu”
“Itu apa namanya? Apa? MacBook? Berapa harga yang paling mahal? 20 juta?”
Bukan, ini bukan skrip sinetron. Saya pun berusaha mencari kamera tersembunyi yang memastikan aktingku sore itu patut diganjar piala citra. Tapi itulah kenyataannya. Pada saat saya ingin menyervis ipod bulukan yang statusnya sudah bekas guna dan dibeli di kaskus. Sepertinya MacStore adalah taman bermain mereka yang memiliki uang berlebih.
Seumur hidup saya tidak pernah merasa ingin menjambak rambut seseorang seperti sore itu. Apa yang membuat geram? Astaga! Anak kemarin sore yang merajuk kepada sang ibu hanya karena temannya semua sudah menggunakan iPad versi termutakhir. Dia merajuk sampai tidak ingin bersekolah. Malu sama teman katanya.
“Untuk apa beli yang sama, kan sudah ada teknologi yang lebih baru lagi”
Sirik? Yah mungkin saya memang sirik. Saya tidak mampu memiliki barang yang dia inginkan. Tapi belum lagi saya selesai menjambak rambutnya, saya lanjut ingin menamparnya,
“Memangnya kenapa di Indonesia belum bisa teknologi 4G? iPad itu bisa dipakai kan? Toko macam apa ini?”
Sekedar catatan, teman saya yang juga pemeran pendukung sebagai penjaga toko sudah menjelaskan bahwa memang barang tersebut belum masuk di Indonesia. Sedangkan mereka tidak menjual barang black market. Toh juga jaringan di Indonesia belum mampu support.
Makanya sekolah yang benar supaya ngerti hal sesederhana itu! Rasanya saya ingin menampar anak itu pakai BTS.
Sementara di luar sana masih banyak anak-anak seusianya yang harus bekerja, putus sekolah dan melanjutkan hidup. Belum lagi mereka yang harus belajar untuk bisa mendapatkan beasiswa, rasanya semua imaji saya tentang dunia remaja hancur seketika. Ternyata memang masih ada (dan banyak) remaja yang masih manja. Hanya membandingkan kepunyaan orang tuanya. Hanya memainkan mode tanpa memperdulikan isi otak.
“Ah, kamu saja yang salah tempat iQko”, sisi sinis saya yang berkata seperti itu.
Mungkin memang saya yang salah tempat. Membandingkan dua realitas yang sangat berbeda. Sesekali saya bertanya, akan seperti apa hidupnya kelak? Ah, biarkan hidup memainkan dadunya sendiri. Saya juga memiliki peran yang lain.