#bearbiketrip (1) : a prologue
Banyak orang mengernyitkan dahi dan menatap saya, Kak Anchu dan Veby ketika memutuskan untuk bersepeda ke Ta’deang, Kabupaten Maros. Jarak tempuh yang diperkirakan mencapai 37 Km bahkan lebih membuat orang lebih terhenyak lagi. Apa kami sanggup? Atau pertanyaannya, apa saya sanggup?
Ketika berbicara dengan Taro—teman angkatan di kampus—dalam salah satu edisi makan siang hore, seketika kami membahas mengenai kegiatan ekstrakurikuler I jaman mahasiswa dulu. Kami tertawa ketika saya lebih memilih english debate daripada pencak silat atau karate. Kalau bisa menghindari kegiatan fisik, untuk apa harus dijalani?
Itulah gambaran masa lalu yang saya jalani. Apa yang terjadi? Semua aktivitas fisik seringkali menjadi pilihan terakhir untuk dijabani. Olahraga dengan berjalan kaki setiap hari di fakultas menurutku sudah cukup. Tidak usah ditambah lagi. Buat apa repot-repot berkeringat. Bahkan konsep hari libur biasanya saya habiskan dengan berleyeh-leyeh sambil membaca novel kesukaan. Makan, membaca kemudian tidur lagi.
*dan timbangan pun kemudian menjerit*
Lantas, kenapa kegilaan ini bisa memuncak? Saya juga tidak bisa memikirkannya lebih jauh. Beberapa kali saya terhenti dan melihat kebelakang. Apa yang sudah saya lewati selama ini? Apa yang telah saya jalani? Kesempatan apa yang telah saya lewatkan? Dan ternyata jawabannya, banyak! Hanya persoalan satu hal, saya begitu tidak percaya diri pada kemampuan, pikiran serta daya tahan tubuh. Saya selalu denial dan mengatakan tidak bisa.
Padahal batasan tidak bisa dan tidak mau itu beda tipis.
Maka sekaranglah saatnya, saya mencoba beberapa hal dulunya menjadi hal terakhir yang saya lakukan. Mencoba mencari tahu batasan fisik diri sendiri sampai mana, sampai mencoba bertarung dengan pikiran dan hati yang selalu berteriak tidak bisa. Bersepeda selama 4 jam menempuh jarak 37 Km? Caving dan menelusuri gua? Mendaki gunung? Ternyata saya bisa. Inilah awal mula dari perjalanan dalam menaklukkan diri, pikiran dan hati. Selamat menikmati.