Bapak.
Bapak saya, Syarifuddin Djalil, merupakan sosok konservatif. Sama dengan tipikal orang tua yang bersuku Makassar lainnya, kami tidak dekat. Selalu ada yang membingungkan ketika harus berinteraksi dengannya. Selalu dan selalu. Sehingga tidak banyak memori terekam dengannya. Walaupun tinggal serumah, bisa saja kami saling tidak saling menyapa satu sama lain. Terlihat aneh? Entahlah. Begitulah sistem yang terjadi di rumah. Ketika bahasa verbal tidaklah terlalu penting, ketika saya melihat bapak dan keadaannya baik-baik saja, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Satu hal yang terekam jelas hanyalah memori ketika masa kecil dulu. Dimana ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, maka bergegaslah saya dan kakak berboncengan motor bertiga bersama beliau. Lokasi favorit? Tentu saja Lapangan Karebosi. Masih teringat dengan jelas setiap pelukan dan setiap cerita yang ada selama perjalanan dari rumah ke lapangan karebosi.
Mungkin perubahan yang benar-benar terasa ketika saya merasa jauh ketika memasuki sekolah menengah pertama. Disinilah saya mulai kehilangan figurnya. Kebiasaannya keluar malam untuk sekedar bermain domino bersama beberapa tetangga, sampai kebiasannya untuk tidur sepanjang hari ketika hari libur tiba. Otomatis tidak banyak percakapan yang terjadi. Tidak banyak interaksi yang tertukar. Pelan-pelan pula semua keputusan tentang hidupku mulai dibebankan kepada diri sendiri. Pilihan untuk masuk ke sekolah mana, mengenai pelajaran, ataupun tentang hati, tidak pernah lagi saya bicarakan dengannya. Semuanya berlalu dengan begitu saja, sampai saat ini. Ketika semua pilihan hidup ada di tangan saya sepenuhnya.
Lantas ketika ada teman yang bertanya,
“dimanakah kau dapatkan kekuatan untuk menjalani hidupmu selama ini?”
Saya hanya bisa menjawab, bahwa itulah proses yang terjadi dirumah. Dimana saya belajar untuk ditempa menjadi mandiri, menjadi dewasa sebelum waktunya dan menerima konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil Tidak ada kata menyesal didalamnya.
Beberapa tahun terakhir inilah baru saya bisa berdamai dengan bapak. Saya beserta saudara yang lain. Khususnya ketika badai yang datang ditengah keluarga yang membuat kami sangat membencinya. Benci untuk semua perlakuannya terhadap ibu, muak terhadap ketidakperduliannya kepada kami, dan benci terhadap segala sesuatu tentangnya.
Satu yang saya pelajari dari beliau adalah sikap yang tidak mudah menyerah serta selalu perduli terhadap orang lain. Walaupun akhirnya terasa aneh ketika dia mendahulukan kepentingan tetangga, daripada kepentingan dirinya sendiri. Sudah beberapa tahun ini pula kami berusaha menyatukan kembali sebuah nilai berkeluarga. Dimana semua kekurangan harus diterima dengan lapang dada. Dimana retak-retak yang karena badai terdahulu kami bersaudara berusaha merekatkannya dengan segala cara. Semuanya untuk satu hal, supaya rumah menjadi tempat yang layak lagi untuk dihuni.
Hari ini saya merasa bangga kepada bapak. Beliau yang tidak pernah kelihatan lelah untuk mendengarkan semua keluhan kami. Mungkin caranya bereaksi yang dulu tidak dapat kami terima, ketika nada suaranya menjadi lebih tinggi. Tapi memang begitulah sifatnya, hanya marah sejenak. Setelah itu dia akan membantumu untuk menghadapi dunia dan segala kesulitan. Ini yang dulu kami tidak mengerti dari bapak. Sehingga kami memilih untuk menjauh dengannya.
Untuk lelah yang tidak pernah berhenti dari dirinya, terima kasih untuk hidup yang diberikan kepada kami bersaudara. Saya bangga dengan bapak.