Dulu bulan Februari selalu menjadi perhatian tersendiri kala saya masih berstatus penyiar. Biasanya 1001 macam acara yang dipersiapkan untuk menyambut satu tanggal yang diyakini sebagai hari kasih sayang sedunia. Itu kalau punya pasangan, kalau tidak? *puk puk para jomblo*
Satu hal yang paling menarik adalah ada-ada saja orang yang kemudian datang ke radio untuk merekam sejumlah lagu bertema cinta. Maklum saja, pilihannya kala itu tidak sebanyak dan semudah saat ini. Daripada salah memilih lagu dengan kualitas yang jelek pula, mereka datang dengan setumpuk list lagu andalan.
Pindah ke jaman CD, ternyata tradisi ini masih berlanjut. Mereka meminta beberapa lagu cinta untuk menjadi soundtrack hari kasih sayang atau sekedar menyatakan perasaan. Lagu paling klasik? Tentu saja Martina McBride dengan Valentinenya.
Bertahun kemudian barulah saya mengetahui bahwa aksi menyatakan perasaan dengan diiringi musik atau pertunjukan musik ini biasanya disebut serenade. Jadi biar suasana sudah mendukung, hati sudah siap “nembak”, tapi kalau tidak ada soundtracknya, bisa jadi garing.
Ketika mendapatkan tagging dari sebuah produk (utamanya) baju di Facebook, saya sering marah dan sedih di saat yang sama. Marah karena beranda saya penuh dengan dagangan segala rupa, plus sedih karena bajunya tidak ada ukuran yang sesuai. Ranah Facebook perlahan berubah menjadi sangat menjengkelkan. Entah siapa yang memulai pertama kali untuk berjualan di Facebook. Mulai dari gadget, baju, seprai, ada yang menyalurkannya. Sepertinya sisa penjual tabung gas saja yang belum ada. Mungkin karena resikonya yang terlalu besar.
Anyway, memiliki tubuh segede beruang ada suka dukanya sendiri. Enaknya sih hangat kalau dipeluk (katanya siiih) dan orang-orang selalu merasa aman kalau ditemani jalan (lah, emangnya saya satpam?). Tapi itu tadi, giliran cari baju kaos yang keren. Susahnya bukan main. Sepertinya saya bukan sahabat baik dari tenant-tenant fashion. Bahkan sampai ke pusat FO di Bandung pun, sulit mendapatkan size XXL, semuanya mentok di XL. *puk-puk perut*
Awal kekesalan saya terhadap semua jenis online shop di Facebook kemudian membuat saya berpikiran lain. Saya malah jatuh cinta dengan salah satu akun yang mengupdate terus design kaos yang diproduksi. Dari The Beatles, Thom Yorke, dan Adele. Mereka spesifik hanya memproduksi kaos dengan musisi yang spesifik. Peminatnya? Membludak! Walaupun harus menambah sedikit untuk ukuran plus (yeah, size PLUS), tapi ada kepuasan tersendiri yang didapatkan.
Konsep ini kemudian yang menjadi jawara dalam konsep marketing saat ini. Berjualan secara konvensional? Meh! Walaupun jumlah mal dan pusat perbelanjaan terus bertambah, tetapi semakin banyak orang yang (sok) sibuk tidak sempat untuk belanja mata. Cukup browsing sana sini, klik, double klik, nanya rekening tujuan, transfer duit, holla! Barang pun berdatangan. Tidak pakai keringat, tidak pakai ngantri.
Walapun ketakutan untuk penipuan makin marak terjadi, disitulah peran kita sebagai pembeli untuk menjadi pembeli yang cerdas. Jangan sampai kalap untuk membeli barang yang dibandrol dengan harga murah. Ada baiknya untuk mengkonfirmasi harga standar di situs-situs ternama. Mana ada laptop yang dibanting harganya? Tidak mau tertipu kan? Apalagi dengan embel-embel black market. Nantinya mau untung, malah jadi buntung.
Bisnis ini menjadi semakin menarik karena sewaktu saya jalan ke Bandung dan Jakarta kemarin, ternyata memang ada perbedaan harga yang lumayan mencolok dengan pasar Makassar. Faktor lebih murah barang-barang di ibukota? Ya itu masalah klasik sih. Dimana sepatu KW dengan kualitas yang sama, saya mendapatnya hanya dengan setengah harga. Di facebook malah dijual hampir 2 kali lipat. Nah loh! Sudah bisa dihitung dengan kasar sebenarnya bagaimana bisnis ini akan berputar.
Lantas, bisakah semua orang menjalaninya? Lah, ini sebenarnya merujuk kepada pasar konvensional juga. Bagaimana mendapatkan suplai yang lebih bagus kualitasnya dengan harga yang lebih murah. Idealnya harga sebanding dengan mutu lah. Disinilah dibutuhkan kerja keras untuk membuat toko berubah menjadi online. Karena sekarang hidup tidak bisa lepas dengan internet. Konsep online shopping akan memudahkan orang-orang yang ingin praktis dan tidak ingin ribet dengan suasana mall yang kadang sumpek.
Dari semua opsi yang ada, sepertinya memang sistem tagging di Facebook yang menjadi sehina-hina kasta dalam berdagang. Seperti menyeret orang-orang untuk melihat sesuatu yang belum tentu dia sukai. Kalau senang, ya Alhamdulillah yah. Kalau nggak? Wassalam. Segala sumpah serapah akan keluar dari mulut seseorang.
Tidak semua orang bisa mengelola konsep online shop dengan berbasis blog. Walaupun ini tahun 2012 dan blog sudah menjadi makanan sehari-hari, masih ada yang belum ngeh bagaimana cara menggunakannya (ehm!). padahal konsepnya sederhana, hanya memindahkan lapak fisik yang ada di dunia nyata, menjadi bagian dari dunia maya. Keuntungannya? Toko buka 24 jam, tanpa biaya parkir, tanpa uang pajak, tanpa susah dengan iuran dari preman juga (eh).
Ada banyak tutorial yang bisa digunakan. Ibaratnya, tukang bangunannya sudah disediakan oleh google, tinggal memilih dan melihat bagaimana yang sesuai. Lah, bagaimana kalau sudah bisa membuat online shop dan tidak bisa dioperasikan?
Disinilah peran sekolah blog menjadi penyelamat. Tidak perlu meminta saran dari Tung Desem Waringin cara promosi yang mengejutkan. Tidak perlu pula meminta petunjuk Mario Teguh kala online shop yang dioperasikan kok malah sepi pengunjung? Cukup bertanya dengan orang yang tepat. Bagaimana memilih produk, bagaimana dengan customer servicenya, sampai layanan after salenya. Seribet itu? Ya iyalah! Wong, semuanya pasti akan kembali kepada kepuasan pelanggan. Mereka senang, duit datang, abang disayang 🙂
Tidak perlu takut untuk memulai sesuai yang baru dan tidak familiar, karena blog bisa menjadi tren untuk menjalankan bisnis penting di masa yang akan datang. Ketakutan karena bisnis ini tidak familiar? Daripada jualan secara serampangan di facebook, mending sekalian memasang lapak dengan baik dan benar. Toh di internet juga tidak ada satpol PP yang selalu merazia.
Ketika melihat status beberapa teman Facebook dan twit mereka, saya sering berpikir, isi kepala mereka apa yah? Kok bisa-bisanya mereka berkomentar untuk sesuatu yang sensitif seperti itu?
Ini kita berbicara tentang apa memangnya? Tentang gempa yang melanda Jepang. Tentang tsunami yang menewaskan banyak orang. Tentang katanya reactor nuklir yang mengalami ledakan. Dan juga bagaimana sikap dan prilaku Jepang pasca bencana. Mereka setidaknya lebih baik dari kita, bangsa Indonesia, yang bahkan berpikir pun terkadang bisa seenaknya saja.
Beberapa twit dan status yang bermasalah itu adalah,
Jeez, ada apa dengan isi kepala kalian hey orang-orang! Setidaknya kalau memang tidak bisa bersimpati atau melakukan sesuatu, setidaknya janganlah mengatakan sesuatu yang bodoh. Apalagi kalau hal itu bisa mengundang reaksi dari banyak orang. Sedikit saja coba berpikir, seandainya kita yang berada di posisi tersebut, apakah memang masih bisa tertawa?
Saya selalu merasa miris dengan beberapa orang yang menganggap joke-joke seperti ini menjadi suatu hal yang biasa. Okelah, saya mengakui bahwa saya pernah berada di posisi tersebut, menjadikan sesuatu menjadi bahan lucu-lucuan tanpa berpikir apa dampaknya bagi orang lain. Sampai suatu saat, saya mendapat tamparan, ketika masih sering menggunakan Autis sebagai bahan dan kosakata dalam pergaulan.
“pernahkah kau berpikir, setidaknya satu kali saja. Ketika Adik, atau anakmu nanti yang mengalami Autis?”
Sebuah pernyataan sederhana. Bagaimana seandainya saya berada di posisi mereka? Apakah saya sanggup melewatinya? Apalagi saya tahu bagaimana perjuangan orang tua dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sedangkan saya semudah itu menjadikannya sebagai bahan lelucon?
Secara tidak sadar ada banyak diantara kita yang terbiasa menggunakan “kekurangan” orang lain sebagai bahan joke yang murah meriah. Mulai dari masalah berat badan, orientasi seksual, sampai bentuk tubuh. Semuanya menjadi sesuatu yang alamiah. Kenapa bisa? Inilah kultur yang berkembang dalam keseharian. Proses bully yang terjadi semasa sekolah, pun akhirnya terus berlanjut sampai bebrapa tingkat kehidupan. Pun media, seperti beberapa tayangannya, turut mendukung budaya ini. Betapa tidak jarang kita ikut tertawa ketika lawakan tentang hal-hal ini diluncurkan. Salahkah kita?
Saya bukan Tuhan yang menjawab benar dan salah. Tetapi cobalah sekali-kali berpikir berada di posisi orang-orang dengan “kekurangan” tersebut. Bagaimana rasanya fight dengan semua perbedaan kemudian menyadari bahwa itu sesuatu yang sama sekali tidak lucu, dan menjadi joke yang salah tempat. Silahkan bercermin sendiri, masihkah anda melakukannya?