Oleh-oleh dari Diskusi Buku “Makassar Nol Kilometer”.
Mereka bilang salah satu bentuk kemajuan sebuah kota adalah dengan semakin banyaknya pusat perbelanjaan yang mendukung gaya hidup kaum urban. Mereka yang awalnya lebih senang bersendal jepit dan menikmati cipratan lumpur di pasar tradisional, sekarang sudah berubah kebiasaan. Ruangan ber-Ac selalu memanjakan kulit setiap pengunjung. Dimana lagi kaki tidak perlu lelah memijak tangga karena eskalator selalu berjalan. Lantas bagaimanakah rupa Kota Makassar nantinya?
Inilah salah satu isi diskusi menarik, ketika buku Makassar Nol Kilometer dibahas di dua tempat. Pertama di BaKTi pada hari jumat, 8 Juli 2011, serta di M’Tos pada hari sabtu keesokan harinya. Ada banyak perubahan yang terjadi pada Kota Makassar, sejak beberapa tulisan yang merangkum wajah kota kita diterbitkan pertama kali dalam buku ini.
Ketika narasumber yang hadir, M. Aan Mansyur, Anwar Jimpe Rahman, maupun Nurhady Sirimorok berbagi kepada semua pengunjung bahwa proses kreatif dalam membuat buku Makassar Nol Kilometer karena tidak adanya literatur yang memadai mengenai kota Makassar. Lantas, siapa yang akan membuat pengingat bahwa ada banyak fenomena-fenomena Makassar yang sekarang sudah tidak ada lagi?
Dalam 48 tulisan dalam Buku Makassar Nol Kilometer kemudian dibagi menjadi beberapa bagian, seperti kuliner yang berisikan tulisan tentang Coto Makassar, Pallubasa, sampai jejeran toko Lumpia di jalan Lasinrang. Komunitas yang berisikan tentang Suporter PSM sampai kepada Waria di Lapangan Karebosi. Buku ini bercerita pula tentang ruang-ruang yang ada di Kota Makassar, seperti Paotere. Tidak lupa pembahasan tentang perbedaan gaya hidup antara anak Utara dan Selatan, serta masih banyak lagi.
Yang kemudian menjadikan diskusi ini menarik adalah persepsi beberapa orang yang seolah kaget dan baru mengetahui beberapa hal tentang Makassar. Indah misalnya, dia penasaran tentang cerita mengenai pakappala tallang dan keberadaannya sekarang. Apalagi sekarang dengan pasar Sentral yang terbakar, maka akan semakin sulit menemukan keberadaan mereka.
Hal inilah yang ditegaskan oleh Aan Mansyur, bahwa ketika sebuah ikon kota telah hilang atau berubah, maka banyak juga nilai-nilai yang tidak terlihat turut berubah. Bisa saja fisik bangunan pasar Sentral telah tiada, itu berarti aktivitas yang berada di sekelilingnya akan turut berubah pula. Ini yang menjadi penting, ketika suatu peristiwa tidak dicatat di waktu tersebut, maka semuanya akan hilang dalam sejarah. Bisa saja dikeesokan hari orang akan melupakan tentang Makassar Mall ataupun pakappala tallang yang dulu banyak disana.
Pertanyaan yang menarik juga datang dari Panji, pemuda yang sudah 5 tahun menetap di Makassar. Dia bertanya mengenai ketika sebuah ruang hilang dan digantikan dengan sebuah ikon baru, bukankah itu akan berdampak positif dan memiliki cerita baru lagi?
Hal ini langsung dibantah oleh Nurhady Sirimorok atau yang akrab dipanggil Kak Dandy, katanya lihat saja Lapangan Karebosi. Apa yang terjadi sekarang. Dulunya kita masih bisa melihat orang bermain dengan bebas, melihat orang berjualan obat, sekarang tempat tersebut sudah diprivatisasi. Bahkan minimal harus mengeluarkan minimal 1000 rupiah untuk parkir. Sebuah tempat yang dulunya penuh dengan komunitas, sekarang malah menjadi kaku dan tertutup. Apakah itu positif? Ini semacam kritik kepada pemerintah kota, apabila catatan ini dibaca di kemudian hari, barulah mereka nanti menyadari apa yang telah hilang dari Kota Makassar.
Pelan tapi pasti Kota Makassar berubah. Entah mereka menyebutnya metropolitan lengkap dengan macetnya, lengkap dengan ikon-ikon baru, disinilah peran kita. Sebagai warga Makassar, wajib untuk menuliskan setiap peristiwa yang terjadi. Ketika sekarang Warkop dan Rumah Bernyanyi menjamur dimana-mana, ini tidak ada ketika Buku Makassar Nol Kilometer pertama kali diterbitkan di tahun 2005.
Silahkan mencatat berbagai peristiwa, sekecil apapun karena di waktu kelak, inilah kontribusi kita dalam melihat wajah Kota Makassar tercinta.
One thought on “Oleh-oleh dari Diskusi Buku “Makassar Nol Kilometer”.”
setuju, menuliskan sebaris saja dapat menjadi catatan sejarah bagi kota itu di masa depan 😀