Browsed by
Tag: 30 Hari Menulis Surat Cinta

Tidak mudah menjadi berbeda.

Tidak mudah menjadi berbeda.

Selalu itu katamu. Ketika melihat bagaimana seluruh dunia seakan bersiasat melawanmu. Bukannya aku tidak tahu, sebab itu yang selalu kau tegaskan.

“Mengapa orang-orang menyusun aturan baik dan benar? Atas dasar apa? Bukannya setiap keputusan yang menjadi landasan hidup bersama, berarti harus dirundingkan bersama juga? Lah, dulu kan saya belum ada. Saya lahir dan bertumbuh dengan semua nilai yang harus saya hadapi. Suka atau tidak suka. Hak saya untuk melawan dimana?”

Begitulah rutukanmu. Pada sore-sore dimana kita bisa bertemu dan berbicara panjang lebar. Lintas fakultas dan lintas kegiatan kuliah untungnya bisa sedikit meredakan kepalaku dari ocehanmu. Bukannya tidak tahan, terkadang kepalaku juga penuh dengan hal-hal lain. Bukan hanya tentang hal yang kau teriakkan selalu.

Tidak mudah menjadi berbeda.

Aku tahu terkadang betapa sunyinya teriakanmu terdengar. Lantang tapi penuh dengan kesepian. Apa yang bisa aku lakukan? Sesekali memegang tanganmu dan membiarkan pundakku menjadi sandaranmu. Posisi kita sebagai anak orang tua, dengan menganut budaya timur yang begitu ketat membuatmu tidak bisa menjadi diri sendiri. Terhalang dengan lingkungan sosial lah, terbentur dengan agama lah. Selalu itu teriakmu,

Image by Kateey

“Dimana rasa adilmu Tuhan? Mengapa kau ciptakan aku sedemikian rupa?”

Tidak mudah menjadi berbeda.

Begitu kelakarmu selalu. Kala pikiran logis datang menghantammu sesekali. Tidak ada yang bisa menghentikan sifat impulsifmu. Itu yang paling membuatku betah selama ini bersamamu. Bercermin dengan duniaku yang berjalan biasa saja, terkadang kau bisa melontarkan adrenalinku secepat wahana rollercoaster. Dengan ide gila dan tindakan tiba-tiba. Aku menikmati itu semua.

“Kalau paspor ini selesai, aku bisa pergi kemanapun aku mau. Menjadi diriku sendiri, menjalani hidupku tanpa campur tangan orang lain”. Itu katamu.

Kini aku hanya bisa merenung dan berbicara disini. Di depan nisanmu. Mencoba berjalan dengan sepatumu dulu. Mengingat malam ketika kau memperkenalkanku kepada duniamu. Sekarang aku tahu rasanya. Tidak mudah menjadi berbeda. Mencintai sejenisku sendiri.

Kecil.

Kecil.

Kecil, ini mungkin surat terakhir saya buat kamu. Pelan tapi pasti kenangan yang menjejak itu semakin menghilang dalam ingatan. Bukan tidak ingin bersurat lagi, tapi sepertinya perih yang ada ketika selalu mengingatmu.

Kecil, apa kabarmu sekarang? Kuliah memang tidak mudah. Saya pun pernah melaluinya. Teman yang menjauh? Tugas yang semakin menumpuk? Itu semua hanya rutinitas. Saya tahu Kecil, saat ini kau mengharapkan saya ada disana. Menemanimu. Selalu.

Riuh rendah percakapan itu tidak pernah lagi ada kecil. Ketika balasan sms tengah malammu hanya bisa saya balas di keesokan harinya. Padatnya jam efektifku di siang hari membuatku kadang terlelap begitu cepat. Kalau sudah begitu, hanya voice note demi voice note yang bisa meluluhkanmu. Apa kabarnya semua voice note itu? Apakah kamu menghapusnya?

Image by Eredel

Saya selalu tertawa ketika melihat hujan di hari jumat. Seperti yang terjadi di beberapa minggu belakangan. Ini musim kita, itu katamu selalu. Suatu siang yang basah, percakapan terjadi. Perhatian berbalas, pipi merona, dan tawa yang bahagia. Sesederhana itu.

Dua tahun berlalu, Kecil. Kaos gambar sapi itu mungkin sudah pudar warnanya. Syal itupun mungkin sudah digantikan dengan benda yang lain untuk menutupi lehermu yang telanjang. Sebab itu kesenanganmu, bermotor kemana saja, kapan saja.

Kabar saya? Seperti inilah, masih di sibukkan dengan rutinitas. Lelah terus datang menghampiri. Dingin selalu menyergap kalau saya pulang telat karena lembur. Semuanya terbayar dengan satu senyum. Senyum yang selalu meronakan hariku. Senyum sahabatmu. Yang menjadi kekasihku.

Ini surat saya yang terakhir Kecil, tidak ada lagi yang tersisa. Kamu resmi memasang foto seseorang sebagai profil picture mu. Mengganti namamu dengan akhiran namanya. Sudah saatnya Kecil. Sudah saatnya kamu juga move on.