Ibu.

Ibu.

Ada sejuta damai yang selalu kudapatkan ketika memandang wajah beliau. Kali ini, sejuta itu rasanya entah dikalikan berapa, barulah saya bisa menjabarkannya. Beliau yang duduk diberanda ruang tunggu seorang dokter. Sambil tak lupa memberi dukungan kepada seorang keluarga yang ditemaninya berobat. Di suatu senja yang basah di bulan Maret.

Begitulah beliau. Selalu ada untuk semua orang. Tak pernah beliau mengeluh ataupun mengatakan tidak bisa, ketika seseorang meminta tolong padanya. Pun dalam keadaan sakit pun beliau selalu memaksakan diri. Bahkan, kami, para anaknya sempat marah pada kebiasaannya ini. Karena bagaimanapun juga beliau harus beristirahat. Tapi sakit itu tidak dipedulikannya.

Image by http://ariprobandari.wordpress.com

Beliau adalah salah satu orang yang menghargai pendidikan. Satu yang selalu ditekankannya pada kami, bahwa bagaimanapun kami para anaknya harus mengecap pendidikan setinggi mungkin.

“Biar saja ibu tidak sekolah. Bodoh. Kalian harus lebih pintar dari Ibu”

Itulah perkataannya yang selalu membuat kami bersemangat. Kala pelajaran di sekolah membuat penat, atau ketika pilihan antara skripsi dan bekerja pernah menjadi suatu dilema yang sangat berat. Beliau mampu membantu kami memutuskan. Tanpa pernah memaksa. Semua keputusan dikembalikan kepada para anaknya. Dengan satu catatan, harus berani menerima semua konsekuensinya.

Ada banyak cerita tentang ibu yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Pun ketika keluarga kami sedang berada di titik terendah, beliau sanggup menjadi tiang untuk menopang kami semua. Tidak jarang kami melihat dia mengeluh. Bahkan ketika sedang sakit hati pun, beliau selalu menyimpannya dalam hati. Supaya masalah tidak merembet kemana-mana. Cukup beliau saja yang terluka.

Ketika melihat ibu, petang itu. Ditengah hujan yang turun membasuh kota Makassar. Saya bersyukur. Lahir dari rahimnya, dan dipenuhi oleh berjuta kasih saying dari tangannya. Saya sayang dan bangga dengan Ibu. Sejuta doaku untuk kesehatanmu, selalu.

Jokes yang tidak pada tempatnya

Jokes yang tidak pada tempatnya

Ketika melihat status beberapa teman Facebook dan twit mereka, saya sering berpikir, isi kepala mereka apa yah? Kok bisa-bisanya mereka berkomentar untuk sesuatu yang sensitif seperti itu?

Karikatur di Lintas Berita Malaysia. Sumber : MetroNews

Ini kita berbicara tentang apa memangnya? Tentang gempa yang melanda Jepang. Tentang tsunami yang menewaskan banyak orang. Tentang katanya reactor nuklir yang mengalami ledakan. Dan juga bagaimana sikap dan prilaku Jepang pasca bencana. Mereka setidaknya lebih baik dari kita, bangsa Indonesia, yang bahkan berpikir pun terkadang bisa seenaknya saja.

Beberapa twit dan status yang bermasalah itu adalah,

“Astaga, Jepang gempa! Bagaimana kabar Miyabi yah?”
“Coba kalau pintu kemana sajanya Doraemon bisa dipakai, pasti semuanya selamat”
“Kalau gempa lagi, bagaimana nasib Sinchan selanjutnya?”

Jeez, ada apa dengan isi kepala kalian hey orang-orang! Setidaknya kalau memang tidak bisa bersimpati atau melakukan sesuatu, setidaknya janganlah mengatakan sesuatu yang bodoh. Apalagi kalau hal itu bisa mengundang reaksi dari banyak orang. Sedikit saja coba berpikir, seandainya kita yang berada di posisi tersebut, apakah memang masih bisa tertawa?

Saya selalu merasa miris dengan beberapa orang yang menganggap joke-joke seperti ini menjadi suatu hal yang biasa. Okelah, saya mengakui bahwa saya pernah berada di posisi tersebut, menjadikan sesuatu menjadi bahan lucu-lucuan tanpa berpikir apa dampaknya bagi orang lain. Sampai suatu saat, saya mendapat tamparan, ketika masih sering menggunakan Autis sebagai bahan dan kosakata dalam pergaulan.

“pernahkah kau berpikir, setidaknya satu kali saja. Ketika Adik, atau anakmu nanti yang mengalami Autis?”

Sebuah pernyataan sederhana. Bagaimana seandainya saya berada di posisi mereka? Apakah saya sanggup melewatinya? Apalagi saya tahu bagaimana perjuangan orang tua dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sedangkan saya semudah itu menjadikannya sebagai bahan lelucon?

Secara tidak sadar ada banyak diantara kita yang terbiasa menggunakan “kekurangan” orang lain sebagai bahan joke yang murah meriah. Mulai dari masalah berat badan, orientasi seksual, sampai bentuk tubuh. Semuanya menjadi sesuatu yang alamiah. Kenapa bisa? Inilah kultur yang berkembang dalam keseharian. Proses bully yang terjadi semasa sekolah, pun akhirnya terus berlanjut sampai bebrapa tingkat kehidupan. Pun media, seperti beberapa tayangannya, turut mendukung budaya ini. Betapa tidak jarang kita ikut tertawa ketika lawakan tentang hal-hal ini diluncurkan. Salahkah kita?

Saya bukan Tuhan yang menjawab benar dan salah. Tetapi cobalah sekali-kali berpikir berada di posisi orang-orang dengan “kekurangan” tersebut. Bagaimana rasanya fight dengan semua perbedaan kemudian menyadari bahwa itu sesuatu yang sama sekali tidak lucu, dan menjadi joke yang salah tempat. Silahkan bercermin sendiri, masihkah anda melakukannya?