Browsed by
Category: Ordinary Day

Chantal Kreviazuk ~ Invicible

Chantal Kreviazuk ~ Invicible

 

I thought I had the right day,
but I was in the wrong place.
I tried to open a door,
but got it slammed in my face.
I’m at the back of the line,
feels like eternity.

*Chantal Kreviazuk lebih dikenal sebagai penyanyi yang melantunkan Leaving On A Jet Plane. Mahakarya soundtrack dari film Armageddon. Setelah itu kabarnya seolah hilang entah kemana. Padahal di Kanada, negara asal penyanyi kelahiran 1973 ini sangat terkenal. Memulai debutnya pada tahun 1997 dan berhasil mengantongi banya penghargaan dari Juno Awards. Invicible adalah single yang diambil dari album terakhirnya, Plain Jane yang dirilis tahun 2009. Musik Chantal Kreviazuk terdengar penuh drama, sesuai dengan spesifikasinya. Menjadi penyanyi dari berbagai soundtrack film dan serial televisi.

Damien Rice – Older Chesta

Damien Rice – Older Chesta

Damien Rice, O

Like time, there’s always time
On my mind
So pass me by, I’ll be fine
Just give me time

*O adalah semacam pembuktian Damian Rice bahwa dia bisa menembus dan merilis albumnya tanpa bantuan label besar. Sebuah langkah yang sangat berani, mengingat tipikal musik yang dia bawakan bukan konsumsi mainstream. Hanya berbekal gitar akustik, ada banyak lirik yang lirih disuarakannya, terutama tentang kehilangan. Album ini dirilis pada tanggal 1 Februari 2002 di Inggris dan Irlandia. Sebuah album yang didedikasikan untuk sang sahabat, Mic Christoper.

 

The Warblers – What Kind Of Fool

The Warblers – What Kind Of Fool

Who’s sorry now?
There was a world when we were standing still,
And for a moment we were separated.
And then you found her.
you let the stranger in.

*track ini dirilis untuk album ketujuh Glee dan dinyanyikan oleh kelompok The Warblers. Menelisik lebih jauh, lagu ini kepunyaan Barbra Streisand dan Barry Gibb yang dirilis tahun 1981. Single ini merupakan single ketiga dari album Guilty milik Barbra Streisand. Sebuah balada patah hati. Track ini direkam ulang dan memainkan harmonisasi vokal dari Darren Criss dan barisan choir dari anggota The Warblers yang lain. Tidak ditayangkan dalam episode Glee, tapi masuk dalam album Glee Presents : The Warblers.

Drama minggu sore.

Drama minggu sore.

Saya menghela nafas panjang. Sesekali tatapan kami bertemu, saya pun berusaha menyamarkan tatapan tidak suka. Beberapa kali pantat saya seperti terkena paku panas. Menggelinjang gelisah. Tangan saya memegang apa saja. Sambil berusaha keras untuk tidak melemparkan benda tumpul atau tajam kepadanya. Telingaku panas, berdesing oleh selorohan ucapannya.

Cukup! Tidak tahan akhirnya saya meninggalkan tempat itu, setelah dia berucap dan memainkan telunjuknya didepan mataku,

“Memang apa masalahnya sampai iPad 3 belum masuk ke Indonesia?”

“Sudah, nanti Mama ke Singapura buat belikan kamu”

“Itu apa namanya? Apa? MacBook? Berapa harga yang paling mahal? 20 juta?”

Bukan, ini bukan skrip sinetron. Saya pun berusaha mencari kamera tersembunyi yang memastikan aktingku sore itu patut diganjar piala citra. Tapi itulah kenyataannya. Pada saat saya ingin menyervis ipod bulukan yang statusnya sudah bekas guna dan dibeli di kaskus. Sepertinya MacStore adalah taman bermain mereka yang memiliki uang berlebih.

Seumur hidup saya tidak pernah merasa ingin menjambak rambut seseorang seperti sore itu. Apa yang membuat geram? Astaga! Anak kemarin sore yang merajuk kepada sang ibu hanya karena temannya semua sudah menggunakan iPad versi termutakhir. Dia merajuk sampai tidak ingin bersekolah. Malu sama teman katanya.

“Untuk apa beli yang sama, kan sudah ada teknologi yang lebih baru lagi”

Sirik? Yah mungkin saya memang sirik. Saya tidak mampu memiliki barang yang dia inginkan. Tapi belum lagi saya selesai menjambak rambutnya, saya lanjut ingin menamparnya,

“Memangnya kenapa di Indonesia belum bisa teknologi 4G? iPad itu bisa dipakai kan? Toko macam apa ini?”

Sekedar catatan, teman saya yang juga pemeran pendukung sebagai penjaga toko sudah menjelaskan bahwa memang barang tersebut belum masuk di Indonesia. Sedangkan mereka tidak menjual barang black market. Toh juga jaringan di Indonesia belum mampu support.

Makanya sekolah yang benar supaya ngerti hal sesederhana itu! Rasanya saya ingin menampar anak itu pakai BTS.
Sementara di luar sana masih banyak anak-anak seusianya yang harus bekerja, putus sekolah dan melanjutkan hidup. Belum lagi mereka yang harus belajar untuk bisa mendapatkan beasiswa, rasanya semua imaji saya tentang dunia remaja hancur seketika. Ternyata memang masih ada (dan banyak) remaja yang masih manja. Hanya membandingkan kepunyaan orang tuanya. Hanya memainkan mode tanpa memperdulikan isi otak.

“Ah, kamu saja yang salah tempat iQko”, sisi sinis saya yang berkata seperti itu.

Mungkin memang saya yang salah tempat. Membandingkan dua realitas yang sangat berbeda. Sesekali saya bertanya, akan seperti apa hidupnya kelak? Ah, biarkan hidup memainkan dadunya sendiri. Saya juga memiliki peran yang lain.