Ulasan Film : Jalanan.
Salah satu pengalaman paling mencengangkan ketika pertama kali naik Metromini atau Kopaja di Jakarta adalah keberadaan pengamen yang tiba-tiba naik dan bernyanyi sepanjang perjalanan. Sebenarnya seberapa banyak mereka? Dari rute Permata Hijau – Blok M, saya hitung bisa 3 orang pengamen. Seringnya mereka bergantian dengan pedagang tissue, permen, mencoba mengais rejeki di setiap perhentian atau lampu merah.
Menonton Film Jalanan membuat kita melihat lebih jauh realitas hidup mereka. Bukankah hidup itu selayaknya dua sisi mata uang? Kita akan berkenalan dengan Boni, Ho, dan Titi. 3 orang yang menjalani hidup mereka sebagai pengamen di Jalanan ibukota. Dengan mengambil pendekatan secara dokumenter, Daniel Kiv, sang sutradara mencoba menggambarkan bagaimana perjuangan mereka dalam mencari rejeki. Mengikuti keseharian dan merekam pendapat mereka tentang banyak hal.
Seberapa seringkah kita menyadari keberadaan mereka? Berpikir melalui eksistensi bahwa mereka juga seorang individu? Boni memulai ceritanya dengan bagaimana dia memilih hidup di bawah jembatan. Saya ternyata sering melintasi jembatan di Tosari ini. Waktu itu saya melihat seorang bapak membawa semangkuk mie ayam, turun ke bawah jembatan. Saya hanya berpikir, “memangnya ada kehidupan dibawah?” Ternyata ada!
Inilah mimpi sederhana dari orang-orang yang ingin memiliki kehidupan yang dikatakan layak di tengah kerasnya hidup. Dengan membangun bedengan seadanya, Boni dan beberapa orang lain tinggal di bawah jembatan. Akses air bersih didapat dari lintasan air PAM yang bocor. Dia menampungnya sebagai sarana mandi-cuci.
“walaupun hidup di jalanan, hidup bersih itu sebuah keharusan. Gak boleh jorok jadi orang.” Kata Boni di salah satu scene.
Cerita dilanjut dengan sosok Ho. Dia hadir dengan segala tipikal anak jalanan. Tampang sangar, rambut gimbal, suara parau, tapi siapa yang mengira bahwa nama aslinya adalah Bambang Mulyono? Siapa yang menyangka bahwa dia sangat mencintai anak-anak? Sindiran sosial dan politik yang dilontarkan dan dijadikan potongan fragmen sangat menampar.
“orang-orang itu kebanyakan munafik. Politik itu bullshit. Nantinya juga semua jadi koruptor.”
Lirik lagu dalam lagu yang bercerita tentang koruptor mengingatkan saya pada lagu-lagu Iwan Fals. Sindiran satir sekelas Wakil Rakyat, menggambarkan bagaimana Jakarta menjadikan yang marjinal semakin terpinggirkan. Saya menyukai suara paraunya, dengan lirik yang jujur apa adanya.
Film yang bercerita tentang pengamen jalanan, tentu saja banyak lagu-lagu sepanjang film berlangsung. Seolah soundtrack kehidupan semua orang. Beberapa lagu yang mereka sering nyanyikan di atas bus kota adalah lagu-lagu yang sudah terkenal. Bahkan beberapa lagu merupakan hasil kreatifitas mereka dalam menciptakan lirik,
“Ya, syukurlah hari ini bisa dapat banyak lembar seribuan. Berarti mereka suka dengan lagu saya. Mereka merasa terhubung dengan lagu tersebut”, kata Ho setelah menyanyikan lagu bertema koruptor.
Kalau Boni dan Ho sudah menyanyikan lagu gubahan mereka sendiri, lain pula dengan Titi. Lagu andalannya adalah sebuah lagu religi milik kelompok Ungu. Bagaimana perasaanmu ketika jam 12 siang, di tengah macet, tiba-tiba seseorang bernyanyi tentang hidup dan dosa?
“Yah mau bagaimana lagi, biasanya justru mbak-mbak jilbab yang susah keluarin duit malah senang kalau saya nyanyi lagu itu. Malah pernah saya dapat 100 ribu karena ada seorang bapak yang mau dinyanyiin lagu itu.”
Itulah Titi. Dengan kesederhanaan dia mampu membuat kita ikut hanyut dalam dunianya. Katakanlah saya sentimental dan emosional, tapi melihat perjuangannya untuk hidup di Jakarta membuat saya menjura. Titi datang dari sebuah kampung di Jawa Timur. Karena tidak mau menyusahkan orang tua, dia nekat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Anaknya 3 orang. Satu orang di Kalimantan, satu di Jakarta bersama mantan suaminya, satu orang di kampung.
“Kalau dipikir egois, ya nggak juga. Bagaimanapun saya ini perempuan, pasti selalu mikirin anak. Tapi saya juga harus kerja untuk mereka”
Dan saya menangis.
Ketika kadang kita mengeluh untuk hal-hal sederhana, ada orang-orang di luar sana untuk berjuang mencari hidup. Ketika kita berpikir uang selalu tidak cukup, ada mereka yang menganggak setiap keeping 500 rupiah pun sangat berharga. Kadang kala kita berpikir bahagia itu ada di jalan-jalan tempat wisata, bagi mereka bahagia itu sesederhana berkumpul bersama keluarga.
Saya kagum dengan tim riset dan tim produksi film Jalanan. Entah berapa lama mereka mengikuti Boni, Ho, dan Titi. Ada banyak perubahan dan bagian-bagian hidup mereka yang pastinya terlalui dalam hitungan bulan. Tidak usah saya bocorkan disini, silahkan tonton sendiri.
Walaupun rasa film ini sangat Jakarta-sentris dan Jawa-sentris, mengingat bahwa memang realitas ini terjadi di ibukota. Ketika 18 juta orang bergumul sehari-hari. Janganlah kita menjadi skeptis bahwa realitas itu tidak berlaku di semua tempat. Tapi banyak makna-makna hidup dan arti perjuangan yang bisa didapatkan dari cerita mereka. Bahwa hidup layaknya diperjuangan dan dihidupkan sepenuh hati.