Perahu Kertas; epos lama tentang putri dan pangeran.
Saya dan seorang teman berdiskusi banyak mengenai arti kata “adaptasi”, “disadur”, dan “terinspirasi oleh” dalam mengalih visualkan imajinasi sebuah buku kedalam layar lebar. Beberapa orang berhasil, beberapa pula mendapat kecaman dari penggemar. Bagaimana dengan Perahu Kertas? Sepertinya dia akan cepat tenggelam.
Apa yang terjadi? Selama hampir 2 jam penayangan, entah berapa kali rasa bosan menyeruak. Sambil memperkuat sugesti, saya berkata kepada diri sendiri,
“bersabarlah, masih banyak fragmen-fragmen yang akan membuat kita menghela nafas bahagia. Entah itu adegan Kugi dan Keenan maupun Kugi dan Remi.”
Tapi, sepertinya itu cuma harapan kosong belaka. Entah siapa yang harus disalahkan. Apakah karena Perahu Kertas adalah sebuah cerita paling populer dari Dewi Lestari sehingga membuat kita membuat ekspektasi yang terlalu tinggi. Ataukah hal itu gagal di tangan Hanung Bramantyo, sang sutradara?
Cerita yang diangkat dari Perahu Kertas sebenarnya sederhana. Bagaimana pencarian jati diri Kugy (Maudy Ayunda) yang selalu bermimpi menjadi pendongeng, bertemu dengan Keenan (Adipati Dolken) yang memiliki bakat dan mimpi untuk menjadi pelukis terkenal. Tapi ketika kehidupan nyata menentang semua mimpi mereka, apakah kata menyerah lantas menjadi jawabannya?
Disinilah kita akan mengikuti alur agen Neptunus dengan semua cerita tentang hidup. Mengenai komprominya dengan realitas, ada satu statement yang sangat melekat,
“Terkadang kita harus menjadi orang lain dulu, sampai nanti kita menemukan jalan untuk pulang kepada diri sendiri”
4 tahun yang penuh kompromi kemudian dijalani Kugy. Dunianya terasa ideal. Punya pacar keren bernama Ojos, sahabat yang pengertian, dan kuliah yang diidamkan. Semuanya bertolak menjadi chaos ketika esesnsi cinta hadir melalui sketsa yang dibuat oleh Keenan. Ada mimpi yang melekat disana. Mimpi yang seharusnya tidak ada. Ketika keadaan memaksa mereka menyingkirkan semua keinginan untuk bersama.
Putus persahabatan, pertengkaran dengan orang tua, sampai pencarian jati diri kemudian dilakoni oleh Keenan dan Kugy. Sampai mereka akhirnya bertemu dengan Pangeran dan Putri di kehidupan nyata. Remy bersama Kugy, serta ada Luhde (Elyzia Mulachela) yang menenangkan semua badai hati Keenan. Mampukah pasangan Putri dan Pangeran dunia mimpi akan bersatu?
Itu pertanyaan yang menggantung di akhir cerita satu. Bagi mereka yang mengikuti dan menghapal di luar kepala adegan-adegan di Perahu Kertas, pasti sudah tahu jawabannya. Bagaimana mengeksplorasi twist terakhir itu yang layak ditunggu, karena jujur saya terlanjur kecewa dengan adaptasi filmnya.
Maudy Ayunda tampak seperti anak SMA yang dipaksa menjadi anak kuliah dan bertarung dengan kehidupan nyata. Belum lagi fragmen-fragmen awalnya bersama Remy yang dibuat sangat cepat dan tidak berkesan. Saya sendiri menebak karena film ini akan dibagi menjadi 2, setidaknya detail yang dimainkan menjadi lebih serupa dengan versi buku. Ternyata saya salah.
Scene yang cepat seolah memaksa kita untuk mengikuti cerita Kugy dan Keenan dengan tergesa-gesa. Akhirnya tidak ada adegan yang memorable, seperti adegan menendang pohon yang dilakukan Rangga di AADC misalnya. Padahal ada banyak scene yang menjanjikan.
Setelah satu jam barulah saya bisa menikmati peran Keenan. Twist Sokola Alit juga menjadi seolah-olah tempelan dan tidak penting, padahal nantinya Sokola Alit menjadi salah satu inti cerita. Kehidupan di AdVocado, agensi milik Remi juga ketambahan twist tidak perlu dan menjadi sesuatu yang terlalu garing.
Yang menarik perhatian saya justru kemampuan tim artistik yang mampu menggambarkan keadaan Bandung tahun 1999, masih dipenuhi oleh mobil tua. Scene-scene menarik juga hadir dari scoring Perahu Kertas di beberapa bagian. Inilah scene yang membuat saya menarik nafas, karena adegan tersebut dikuatkan oleh soundtrack yang memadai. Selebihnya? Sedatar ekspresi Kristin Stewart.
Sepertinya dari tadi saya mencela film ini terus menerus yah? Katakanlah ini menjadi sebuah pandangan dan pendapat yang subjektif. Saya menghormati Dewi Lestari. Kisah Kugy dan Remy menjadi salah satu cerita cinta paling saya ingat (bukan, saya tidak terlalu berpihak pada Keenan), tapi esensi dari Perahu Kertas seakan hilang dari bagian pertama dwilogi ini.
13 thoughts on “Perahu Kertas; epos lama tentang putri dan pangeran.”
kata om kumis, ceritanya persis seperti Kuch Kuch Hota Hai.. hehehe
Nyahahaha, iya sih. Sedikit mirip dengan film India nan fenomenal itu *membayangkan Keenan sebagai Rahul dan Kugy sebagai Anjali*
jelek ya filmnya? enaknya nonton nggak ya?
Nyahahaha, bagus kok (kata orang yang belum membaca bukunya)
memang eksekusi filmnya cukup mengecewakan. nantilah saya tulis setelah kelar membaca ulang bukunya 🙂
Nantinya review berdasarkan apa? Film atau buku? 😀
sama kak…yg sy suka memorabilia thn 90-an dapat…..
Sama perannya Ojos dan Eko! Itu yang paling diingat 🙂
Menurutku resensi ta’ bagus, karena jujur …
Sy pernah diminta teman meresensi bukunya. Tapi karena tdk mendapatkan hal bagus dari sudut pandang saya, bukunya tak pernah selesai saya baca dan tentu saja tak bisa saya resensi. Ndak enak kalo isinya celaan, padahal sebenarnya bukunya bagus karena yg menulis teman2 penulis yang berkualitas. Tapi tak seide dengan saya ….
Sy pernah merensi karya teman (diminta juga), sy buat dgn jujur, mana yang bagus dan mana yang kurang. Ini krn masih ada sudut bagusnya menurutku. Tapi sy buat dengan susah payah krn bukunya kumpulan cerpen padahal saya bukan penikmat fiksi. Jarang sy bisa menikmati fiksi kecuali macam The Davinci Code atau Tetralogi Laskar Pelangi. Sy juga bukan penikmat film, tp penasaran juga dgn Perahu KErtas ini krn liat status teman2 FB.
Enak kalo yang diresensi bukan karya teman sendiri. Bisa lebih jujur.
*Eh malah curhat ya :)*
mungkin sedikit komentar tentang jumping pada film…
seperti :
1. Fruit Tea botol (ah jadi sebut merk) yang muncul saat Kugy membentuk Pura-Pura Ninja di Pemadam Kelaparan…
apakah pada saat tersebut (setting 1999) sudah ada Fruit Tea botol?
2. Tampak, motor berplat 3 huruf saat cut away kereta, padahal setting sekitar 2002…
4. sekilas terlihat mobil SUV terbaru (entah CRV / Fortuner) *sebut merk lagi kan* saat Kugy dan Remi pertama kali dinner di pinggir jalan…
tapi over all, salut buat tim artistiknya yang sukses mengembalikan setting tahun 1999-2004…
SALUT..!!! 😀
saya juga merasakan hal yg sama k, mungkin karena ekspektasi yg terlalu tinggi
Sebenarnya physicly Maudy cocok memerankan Kugy, cuma apa ya..kurang greget…Tp cara ambil gambarnya lumayan keren dan OSTnya jg asik 🙂
belum nonton sih sebenarnya
tapi, IMO, memang terjadi kesalahan casting untuk peran Kugy,
harusnya Nirina Zubir yg di situ,
curiganya Maudy dipasangkan dengan Adipati karena sdh ada chemistry (entah sedikit ato banyak) yg terbangun di antara keduanya setelah bermain di Malaikat Tanpa Sayap
tapi tetatp sj itu kelihatan memaksakan
film nya itu bikin geregetan,
sedihnya nanggung,
so sweeet nya ya ampuuun…..